KONSTRUKSI AKUSATIF, ERGATIF, DAN ANTIPASIF
DALAM BAHASA INDONESIA
Abstrak
Secara tipologis bahasa Indonesia tergolong dalam bahasa Akusatif mengingat bahasa Indonesia secara dominant memerlakukan S sama dengan A dan berbeda dengan O. Namun demikian bukan berarti bahasa Indonesia tidak memiliki konstruksi ergative, dan antipasif. Beberapa data menunjukkan bahwa bahasa Indonesia juga memiliki konstruksi ergative dan antipasif.
Untuk mendeskripsikan data tentang konstruksi ergative dan anti pasif diperlukan parameter baku sebagai pivot. Pivot untuk konstruksi akusatif adalah S/A, untuk ergative adalah S/O, untuk pasif adalah pergeseran fungsi peran O menjadi S, sedangkan untuk konstruksi antipasif menggunakan pivot pergeseran peran dari A menjadi S. Data pada tulisan ini menunjukkan bahwa pivot tersebut di atas menjadi parameter pendeskripsian konstruksi akusatif, pasif, ergative, dan antipasif dalam bahasa Indonesia tanpa harus menambahkan parameter lain seperti keberuntunan, kepunctualan, kedefinitan, ketematisan, kebernyawaan, dan keterkenaan subjek yang justru menambah rumit pembuktian model-model konstruksi akusatif, pasif, ergative, dan antipasif bahasa Indonesia.
Pada dasarnya semua bahasa memiliki strategi yang berbeda untuk menandai peran argumen verbanya untuk membedakan ‘who does what to whom’. beberapa bahasa menggunakan morphological case marking beberapa yang lain menggunakan word order case marking.
Keywords: akusatif, pasif, ergative, antipasif, argumen verba, transitif, intransitive, pivot
KONSTRUKSI AKUSATIF, ERGATIF, DAN ANTIPASIF
DALAM BAHASA INDONESIA
I. Pendahuluan
Sebelum membahas konstruksi akusatif, ergatif, dan antipasif dalam bahasa Indonesia, perlu disampaikan terlebih dahulu beberapa konsep sintaksis yang mendasarinya. Akusatif, ergatif, dan antipasif merupakan sistem yang dimiliki suatu bahasa untuk membedakan fungsi verba dan argmen-argumen dalam klausanya. Seperti diketahui bahwa setiap bahasa memiliki (i) klausa intransitif yaitu klausa yang terdiri atas sebuah predikat dan satu argumen inti yang disebut S, dan (ii) klausa transitif yaitu klausa yang terdiri atas sebuah predikat dan dua argumen inti yang disebut A dan O.
Setiap bahasa juga memiliki suatu cara untuk membedakan fungsi argumen S, A, dan O. Ada bahasa yang membedakan fungsi A, dan O pada klausa transitif berdasarkan urutan konstituennya seperti bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Ada juga yang membedakan keduanya menggunakan kasus, partikel, atau adposisi, dan ada pula yang menggunakan perujukan silang pronomina pada verbanya. Sementara itu, pemarkahan S pada klausa intransitif dapat menggunakan pemarkahan yang sama dengan A, sama dengan O, atau justru berbeda dari keduanya. Dari ketiga cara pemarkahan inilah dikenal sistem pemarkahan yang bersifat mendasar sebagai berikut:
Tabel 1. Tiga Kemungkinan Sistem Relasi S, A, dan O.
Fungsi Simbol Sistem Ergatif Sistem Akusatif Sistem Triparti
Objek Transitif O
Sama (Absolutif) Beda (Akusatif) Beda
Subjek Intransitif S
Sama (Nominatif) Beda
Subjek Transitif A Beda (Ergatif) Beda
Sebuah bahasa dikategorikan bersistem Akusatif apabila klausanya memiliki perlakuan S sama dengan A dan berbeda dengan O lebih dominan dibandingkan perlakuan S sama dengan A dan berbeda dengan O. Sebaliknya sebuah bahasa dikategorikan bersistem Ergatif, apabila memiliki perlakuan S pada klausanya sama dengan O dan berbeda dengan A secara lebih dominan.
Pola akusatif memang merupakan pola paling umum terdapat dalam bahasa-bahasa di dunia. Namun, itu tidak berarti bahwa pola ergatif merupakan pola yang tidak biasa ditemukan. Sementara itu, pola triparti merupakan pola yang memang sangat jarang ditemukan. Alasan utamanya adalah bahwa S dalam beberapa hal memiliki kemiripan dengan O dan dalam beberapa hal yang lain memiliki kemiripan dengan A. Itulah sebabnya bahasa-bahasa cenderung menggabungkan salah satu pola kemiripan tersebut dalam gramatikanya. Alasan lainnya mungkin terletak pada permasalahan keekonomisan. Antara A dengan O memang harus ada perbedaan pemarkahan yang salah satunya dapat diberi pemarkah Ø (kosong). Sementara itu, karena S terdapat dalam tipe klausa yang berbeda, S tidak memerlukan pemarkahan baru. Paling ekonomis, S dapat diperlakukan secara gramatikal sama dengan A atau sama dengan O. Berikut ini beberapa contoh konstruksi akusatif dalam bahasa Indonesia.
A S Kkt O Kki
(1) Bus KOPAJA itu mendabrak seorang pengendara motor kemudian mogok.
A S Kkt O Kki
(2) Sopir itu membuka pintu lalu pingsan.
Pada (1) Bus KOPAJA berlaku sebagai A untuk klausa pertama, Bus KOPAJA itu menabrak seorang pengendara sepeda motor, dan berlaku sebagai S untuk klausa kedua kemudian Bus KOPAJA itu mogok. Pada klausa pertama FN Bus KOPAJA befungsi dasar A sebagai argumen inti dari kata kerja transitif (Kkt) menabrak, sedangkan pada klausa kedua FN Bus KOPAJA berfungsi dasar S sebagai argumen inti kata kerja intransitif (Kki) mogok. Demikian pula pada (2), Sopir itu berlaku sebagai A pada klausa pertama, Sopir itu membuka pintu dan berlaku sebagai S pada klausa kedua, lalu (sopir itu) pingsan. Pada klausa pertama FN Sopir itu berfungsi dasar A sebagai argumen inti kata kerja transitif (Kkt) membuka dan pada klausa kedua FN Sopir itu berfungsi dasar S sebagai argumen inti kata kerja intransitif (Kki) pingsan. Data (1 & 2) ini menunjukkan konstruksi akusatif bahasa Indonesia.
Meskipun bahasa Indonesia dikategorikan sebagai bahasa akusatif karena proporsi konstruksi akusatif yang lebih dominan dibandingkan konstruksi ergatif, namun bukan berarti bahasa Indonesia tidak memiliki konstruksi ergatif. Berikut ini data tentang konstruksi ergatif bahasa Indonesia.
S O Kki/ REF
(3) Sopir itu mengantuk.
S O Kki/REF
(4) Laki-laki muda itu terperanjat.
Pada (3) Sopir itu berlaku sebagai S pada klausa intransitif Sopir itu mengantuk, namun dari perlakuan FN Sopir itu nampak bahwa FN Sopir itu diperlakukan secara akusatif karena menjadi penderita kata kerja intransitif (Kki) mengantuk. Demikian pula pada (4), FN Laki-laki muda itu berfungsi dasar S sebagai argumen tunggal kata kerja intransitif (Kki) terperanjat. Namun, nampak pula bahwa dalam klausa tersebut FN Laki-laki muda itu diperlakukan secara akusatif karena menjadi penderita kata kerja intransitif (Kki) terperanjat.
Disamping konstruksi akusatif dan ergatif, bahasa Indonesia juga mengenal konstruksi pasif dan antipasif. Yang dimaksud dengan konstruksi pasif adalah sistem permakahan yang menempatkan fungsi FN O ke dalam dungsi FN S derifatif, dan yang dimaksud dengan konstruksi antipasif adalah sistem pemarkahan yang menempatkan fungsi FN A ke dalam fungsi FN S derifatif (Dixon, 1994: 17). Berikut ini beberapa contoh konstruksi pasif dan antipasif dalam bahasa Indonesia.
(5) a. Bunyi ledakan itu mengejutkan para karyawan bank swasta itu.
b. Karyawan bank swasta itu dikejutkan oleh bunyi ledakan itu.
Dari data (5a) dan (b) dapat diketahui bahwa FN karyawan bank swasta itu mengalami pergeseran fungsi dari fungsi dasar O pada klausa (5a) menjadi fungsi S pada klausa (5b) sebagai derivasi dari klausa (5a). Klausa (5b) menjadi contoh konstruksi pasif dalam bahasa Indonesia.
(6) a. Artalyta Suryani menyesali keputusannya.
b. Artalyta Suryani menyesal telah memercayai Jaksa Urip.
Pada (6a) FN Artalyta Suryani merupakan A untuk klausa transitif dengan kata kerja menyesali. Sedangkan pada (6b) klausa pertama, FN Artalyta Suryani berfungsi dasar S sebagai argumen kata kerja intransitif (Kki) menyesal. Pada (6b), kata kerja transitif (Kkt) menyesali menjadi kata kerja intransitif (Kki) menyesal ketika mejadi klausa pertama dari klausa koordinasi Artalyta Suryani menyesal telah memercayai Jaksa Urip. Sebagai akibat lanjutannya, FN Artalyta Suryani yang semula berfungsi dasar A sebagai argumen kata kerja transitif menyesali berubah fungsi menjadi S sebagai argumen dari kata kerja intransitif menyesal. Dari penjelasan di atas perlu digaris bawahi bahwa antipasif pada dasarnya merupakan sistem pemarkahan yang menempatkan fungsi dasar A ke dalam fungsi dasar S derivasi, bukan pada ada tidaknya penanda men- atau di- dan ter- seperti selama ini diyakini para linguis.
A. Konstruksi Akusatif Bahasa Indonesia
Sebelum membahas masalah konstruksi akusatif bahasa Indonesia, kiranya perlu ditegaskan kembali perlunya parameter sistem akusatif yang baku. Seperti dikemukakan dimuka, konstruksi akusatif merupakan sistem pemarkahan FN yang memperlakukan fungsi FN A sama dengan S dan berbeda dengan O. Perlu pula disampaikan bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa yang memiliki pemarkahan sintaksis dalam bentuk pola urutan konstituen klausa sehingga bahasa Indonesia tidak membedakan fungsi S, A, dan O secara morfologis. Artinya bentuk morfologi fungsi FN A, S, dan O sama. Karenanya, keakusatifan bahasa Indonensia lebih pada perlakuan sitaksis fungsi dasar FN A yang sama dengan S dan berbeda dengan O, dengan pivot S/A. Berikut ini beberapa contoh klausa akusatif bahasa Indonesia.
(6) Sebagian warga makan nasi aking.
(7) Sebagian warga kekurangan gizi.
(8) Wanita itu menggendong anak perempuannya.
(9) Wanita itu menangis.
Data (6) menunjukkan bahwa FN Sebagian warga berperan A sebagai argumen dasar kata kerja transitif (Kkt) makan. FN yang sama pada (7) Sebagian warga berperan S sebagai argumen kata kerja intransitif (Kki) kekurangan. Dari data (6) dan (7) dapat dilihat bahwa bahasa Indonesia memarkahi FN fungsi A sama dengan FN fungsi O yang berarti memiliki sistem pemarkahan akusatif. Melihat perbandingan pola pivot S/A dalam klausa bahasa Indonesia, secara tipologis bahasa Indonesia merupakan bahasa akusatif.
B. Konstruksi Ergatif Bahasa Indonesia
Meskipun secara tipologis bahasa Indonesia termasuk kategori tipe akusatif, tidak berarti bahwa bahasa Indonesia tidak mempunyai klausa ergatif. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa parameter ergatifitas adalah perlakuan FN S sama dengan FN O dan berbeda dengan FN A dengan pivot S/O. Berikut ini beberapa contoh klausa ergatif dalam bahasa Indonesia.
(10) Jaksa Agung Herndarman Supanji terkejut
(11) Wanita cantik itu terpeleset.
(12) Ayin menyesal telah dikenalkan dengan Jaksa Urip.
(13) Ayin pasrah jika ditahan.
FN Jaksa Agung Hendarman Supanji pada (10) berfungsi dasar S sebagai argumen dari kata kerja intransitif (Kki) terkejut namun secara semantis FN Jaksa Agung Hendarman Supanji merupakan FN yang paling mendapat pengaruh dari kata kerjanya, karenanya berlaku pula sebagi O dari kata kerja intransitif (Kki) terkejut. Subjek klausa (10) diperlakukan secara akusatif sebagai penderita oleh verbanya.
FN Wanita cantik itu pada klausa (11) berlaku sebagai S atas kata karja intransitif (Kki) terpeleset, namun secara semantis FN Wanita itu merupakan FN yang paling mendapat pengaruh dari verbanya, karenanya berlaku juga sebagai O dari verba terpeleset. Dalam (11) S diperlakukan secara akusatif sebagai penderita oleh verbanya.
Data (12) merupakan klausa majemuk. FN Ayin berlaku sebagai S pada klausa pertama Ayin menyesal. Sedangkan pada klausa kedua Ayin telah dikenalkan dengan jaksa Urip, Ayin berfungsi sebagai O dari verba dikenalkan.
Data (13) juga merupakan klausa majemuk. FN Ayin pada klausa pertama Ayin pasrah berfungsi dasar S sebagai argumen tunggal verba intransitif pasrah. Sedangkan pada klausa kedua jika (Ayin) ditahan, FN Ayin berfungsi dasar sebagai O dari verba transitif ditahan.
C. Ergativitas pada Konstruksi Nominal
Menggunakan parameter perlakuan S sama dengan O dan berbeda dengan A, ergativitas juga ditemukan dalam konstruksi nominal. Data berikut ini menjelaskan ke-ergatifan dalam konstruksi nominal bahasa Indonesia.
(14) a. pembunuhan Munir
b. perlawanan Suciwati
Konstruksi nominal (14a) bermula dari me-V + N, dan N disini adalah objek. Sedangkan, konstruksi nominal (14b) berasal dari me-V + N, dan N di sini adalah subjek intransitif. Perlakuan fungsi S sama dengan O pada konstruksi pe – V – an menandai pola ergatif. Data tentang konstruksi nominal ergatif bisa dilihat pada table 2 berikut.
Tabel 2. Konstruksi Nominal ergatif bahasa Indonesia.
No Konstruksi Nominal Ergatif Bahasa Indonesia Pola Konstruksi Nominal S/O
1.Pertumbuhan anak Ber – V + N S
2.Perjalanan hidup Ber – V + N S
3.Pembantaian keluarga Ihsan Me – V + N O
4.Pemulangan TKI Me – V – kan + N O
5.Penularan HIV/ AIDS Me – V + N S
6.Penentuan nasib Me – V – kan + N S
7.dst.
D. Pasif dan Antipasif dalam bahasa Indonesia
Pengertian tentang pasif dan antipasif beragam dan terus mengalami pengembangan. Beberapa pengertian pasif dan antipasif saling mendukung namun juga terdapat beberapa pengertian yang memiliki perbedaan yang saling bertentangan. Sebelum mendeskripsikan masalah pasif dan antipasif dalam bahasa Indonesia, perlu ditegaskan satu parameter baku yang dijadikan rujukan. Dalam tulisan ini digunakan rumusan pasif dan antipasif yang diusung oleh Dixon (1994: 17). Dinyatakan bahwa bahasa-bahasa bertipe akusatif sering mempunyai derivasi pasif yang bertujuan untuk menempatkan fungsi dasar FN O pada fungsi S derivasi, dan bahasa-bahasa bertipe ergatif sering mempunyai derivasi antipasif untuk menempatkan fungsi argumen A dalam fungsi S. Catatan perlu diberikan bahwa perlakuan A menjadi S pada antipasif bukan menjadi bukti keakusatifan tipologis sebuah bahasa demikian pula perlakuan O menjadi S pada konstruksi pasif bukan menjadi bukti keergatifan tipologis sebuah bahasa (1994: 17). Berikut ini merupakan contoh-contoh pasif dan antipasif dalam bahasa Indonesia.
(15) Penjahat itu ditembak (oleh) polisi.
(16) Penjahat itu merampas uang para nasabah sebelum ditembak polisi.
Data (15) merupakan contoh konstruksi pasif. Dapat dilihat bahwa pada (15) FN Penjahat itu berperan sebagai S dari verba pasif ditembak yang merupakan hasil derivasi dari klausa aktif Polisi menembak penjahat itu. Pada klausa Polisi menembak penjahat itu, FN penjahat itu berlaku sebagai fungsi O. Untuk alasan topikalisasi pelatardepanan, fungsi dasar O dipromosikan sebagai S pada klausa derivasinya. Karena pergeseran peran fungsi O menjadi fungsi S derivatif inilah unsur konstruksi pasif terpenuhi.
Data (16) merupakan contoh klausa kompleks yang terdiri atas klausa antipasif dan klausa ergatif. Klausa pertama adalah klausa antipasif karena terjadi proses pergeseran peran dari fungsi dasar FN A menjadi FN S pada FN penjahat itu. Pada klausa pertama Penjahat itu merampas uang para nasabah, FN penjahat itu berlaku sebagai A dari verba transitif merampas namun bergeser menjadi fungsi S pada klausa kedua.
Perlu disampaikan bahwa konstruksi antipasif tidak harus selalu menggeser FN fungsi O pada klausa pertama menjadi FN fungsi S pada klausa kedua seperti contoh-contoh yang diidentikan dengan konstruksi ergatif selama ini seperti terdapat pada Verhaar dan McCun berikut ini (Kaswanti, 1989: 263).
(17) Ahmad menemui Ali, lalu dipukulnya.
(18) Benny memegang palu, lalu dilemparkannya.
Pada (17) FN Ali mengalami pergeseran fungsi dasar dari fungsi dasar O pada klausa pertama menjadi FN fungsi dasar S pada klausa kedua. Demikian pula FN palu pada (18) mengalami pergeseran fungsi dasar dari fungsi O menjadi FN fungsi S pada klausa kedua. Perlu dicatat pula bahwa konstruksi antipasif bukan pada klausa pertama dari konstruksi ergatif pada klausa kedua seperti yang dirumuskan Verhaar, namun konstruksi antipasif terdapat pada keseluruhan klausa ketika terjadi pergeseran fungsi dasar FN dari fungsi dasar O menjadi S. Syarat-syarat lain atas konstruksi antipasif dan ergatif, seperti keberuntunan, pungtualitas, serta keperfekan tidak lagi diperlukan.
E. Catatan Penutup
Seperti telah diketahui, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang permarkahan kasus argumen verbanya berdasarkan urutan konstituen klausanya. Perlakuan fungsi dasar argumen verba A, S, dan O tidak diwujudkan secara morfologis. Hal ini menjadikan kajian atau analisa tentang perlakuan argumen berba A, S dan O tidak semudah kajian yang sama pada bahasa-bahasa berpemarkah kasus morfologis seperti pada bahasa Dyrbal. Kesulitan ini mengakibatkan munculnya kebingungan-kebingungan para linguis dalam melakukan kajian tentang perlakuan argumen verba A, S, dan O. Wujud kebingungan para linguis ini misalnya dalam memaparkan bukti-bukti perlakuan A, S, dan O bahasa Indonesia dalam rangka menjelaskan pola akusatif, ergatif, pasif dan antipasif bahasa Indonesia.
Kebingungan para lingis terutama dalam mengkaji dan merumuskan hasil kajian tentang ergatif, pasif, dan antipasif. Kekurangtaatan pada prinsip-prinsip metodologis cenderung menjadi sumber kebingungan para linguis. Beberapa linguis menggunakan parameter yang berbeda untuk menentukan konstruksi ergatif, pasif, dan antipasif bahasa Indonesia. Pada mulanya Verhaar (dalam Kaswanti, 1989) misalnya menggunakan parameter yang sama dengan Dixon yaitu bahwa ergatif pada dasarnya merupakan pola perlakuan argumen verba S sama dengan O dan tidak sama dengan A. Namun pada kajian data selanjutnya, Verhaar menambahkan beberapa parameter lain yang mestinya tidak diperlukan dan malah justru membingungkan. Contoh klausa ergatif Verhaar (17) dan (18) sebenarnya telah cukup memenuhi rumusan pivot S/O yang menandakan keergatifan. Sedangkan pergeseran peran fungsi dasar A menjadi fungsi dasar S telah cukup memenuhi parameter kenatipasifan. Faktor pungtualitas, keberuntunan, dan pelatardepanan sebenarnya tidak perlu ditambahkan karena justru menjadi sumber kebingungan. Hal ini terbukti dengan keyakinan Verhaar yang mengatakan bahwa antipasif terjadi karena keungtualan dan keberuntunan klausa dalam wacana sehingga antipasif dirumuskan berdasarkan parameter lain yang baru. Kebingungan metodologis juga dialami linguis lain seperti McCune dan Hopper dalam mengkaji pasif dan ergatif dalam bahasa Indonesia. McCune dalam merumuskan pasif dalam bahasa Indonesia misalnya mengusulkan parameter kedefinitan, ketematisan, kebernyawaan, dan keterkenaan subjek yang sebenarnya tidak perlu ditambahkan mengingat parameter baku pasif yaitu pergeseran fungsi dasar O menjadi fungsi S derivatif telah memadahi. Data (15) Penjahat itu ditembak (oleh) polisi cukup menjelaskan bahwa fungsi dasar O sebagai argumen verba bergeser menjadi fungsi S pada klausa derivasinya.
Demikian pula dengan Hopper dalam merumuskan pasif dan ergatif dalam bahasa Indonesia. Karena tidak mengikuti parameter yang baku, Hopper kebingungan sendiri ketika menyatakan bahwa FN pasien pada klausa pasif mendahului verba dan FN pasien pada ergatif mengikuti verba tetapi kemudian juga menyatakan bahwa pada ergatif juga ada yang mendahului verba. Bahkan karena kebingungan sendiri Hopper menambahkan parameter-parameter baru yang tidak relevan dan justru membingungkan, seperti fungsi-fungsi wacana yang berbeda pada pasif dan ergatif. Padahal jika para linguis ini meneetapkan parameter dasar yang mantap sebagai pivot untuk pasif, ergatif, dan antipasif, konstruksi pasif, ergatif, dan antipasif bahasa Indonesia dapat dijelaskan dengan lebih sederhana.
Seperti telah dikemukakan di muka, parameter untuk antipasif adalah pergeseran fungsi dasar A menjadi S derivasi. Data (6b) Artalyta menyesal telah memercayai Jaksa Urip telah cukup membuktikan bahwa fungsi dasar A Artalyta pada klausa Artalyta memercayai jaksa Urip bergeser menjadi S pada klausa Artalyta menyesal. Kiranya penjelasan ini cukup menjadi pembuktian keantipasifan dalam bahasa Indonesia tanpa harus menambahkan parameter-parameter lain yang tidak diperlukan tetapi justru semakin membingungkan.
Dengan menggunakan parameter yang tegas berupa pivot S/O untuk ergatif, A/S untuk akusatif dan pergeseran fungsi dasar A menjadi S untuk antipasif, dan O menjadi S untuk pasif, penjelasan mengenai konstruksi ergatif, akusatif, pasif, dan antipasif dalam bahasa Indonesia dapat dijelaskan secara memadai dan pasti. Bahkan dengan menggunakan parameter yang tegas untuk ergatif misalnya dapat ditemukan bukti-bukti yang menyatakan bahwa konstruksi ergatif bahasa Indonesia tidak saja pada tataran klausa namun juga pada tataran konsttruksi nominal.
F. Daftar Rujukan dan Bacaan
Dixon, R.M.W., (1994), Ergativity, Cambridge University Press.
Bambang Kaswanti Purwo, (1989), Serpih-Serpih Telaah pasif Bahasa Indonesia, Penerbit Kanisius Yogyakarta.
Harimurti Kridalaksana, (1989), Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia, Pt. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Kompas, (2008), Wanita Cantik itu Terpeleset, PT Kompas Media Nusantara.
Verhaar, J.W.M., (1996), Asas-Asas Linguistik Umum, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
ÏÒ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar