BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Indonesia
adalah bangsa yang memiliki bahasa lokal yang sangat kaya. Bahasa-bahasa yang
ada di Indonesia merupakan
varian bahasa Melayu yang serumpun dengan bahasa-bahasa lokal di kawasan
regional seperti Singapura, Malaysia, Brunei, Filipina (Verhaar, 1996:
4). Kondisi geografis Indonesia
yang merupakan negara kepulauan sangat mempengaruhi jumlah varian bahasa Melayu
yang menjadi bahasa lokal. Hal ini terjadi karena hambatan geografis menjadikan
kontak antar penutur bahasa yang rendah sehingga masing-masing komunitas
memiliki perkembangan bahasa yang beragam sesuai dengan perkembangan peradaban
masing-masing komunitas. Derajad perkembangan peradaban yang berbeda menjadikan
kesenjangan perkembangan yang berbeda pula sehingga bahasa satu komunitas
sangat mungkin jauh berbeda dengan bahasa komunitas yang lain meskipun masih
tergolong dalam rumpun yang sama. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya
bahasa-bahasa lokal di wilayah Indonesia
seperti di Sulawesi, Kalimantan, dan Papua yang
terlihat sebagai bahasa yang sama sekali berbeda.
Jika diasumsikan masing-masing
pulau memiliki satu saja bahasa lokal maka paling tidak Indonesia memiliki 13.000 bahasa
lokal. Ini menunjukkan jumlah kekayaan bahasa yang sangat kaya. Memiliki
kekayaan bahasa serta merta juga minimal memiliki kekayaan budaya karena dalam
bahasa dan melalui bahasa pemilik bahasa mengaktualisasikan nilai-nilai,
filosofi dan wujud kebudayaan lainnya. Dari analogi ini saja sudah cukup
menjadi alasan bagi bangsa Indonesia
untuk berusaha keras melestarikan kekayaan bahasa yang dimiliki. Paling tidak
upaya pelestarian tersebut pertama-tama dilakukan dengan mendokumentasikan
bahasa-bahasa tersebut dalam bentuk deskripsi linguistiknya. Namun sangat
disayangkan bahwa sangat banyak bahasa-bahasa lokal yang sama sekali belum ada
dokumentasi tertulisnya sehingga banyak pula bahasa-bahasa lokal yang hilang
begitu saja seiring dengan menghilangnya penutur lisan bahasa-bahasa tersebut.
Linguis dan para pemerhati bahasa serta masyarakat
yang menggeluti bidang kajian bahasa menjadi pihak yang pertama-tama terusik
untuk melakukan sesuatu guna melestarikan bahasa-bahasa yang ada. Penulis
sebagai orang yang menggeluti bidang kajian bahasa terdorong untuk melakukan
pengkajian tentang salah satu varian bahasa yang ada di daerah Tarakan
Kalimantan Timur. Karena kontak yang cukup intensif dengan penutur bahasa
Melayu dialek Tarakan, penulis menemukan fenomena bahasa yang menarik, yaitu
penggunaan partikel ‘ba’ dan ‘na’ oleh penutur bahasa lokal. Fenomena
kebahasaan ini menarik karena tidak semua dan tidak dalam setiap kesempatan
berkomunikasi penutur bahasa lokal menggunakan partikel ‘ba’ dan ‘na’. Fenomena
kebahasaan inilah yang mendorong penulis untuk mengetahui lebih jauh hal-hal
yang berkaitan dengan penggunaan partikel ‘ba’ dan ‘na’.
B.
Rumusan Masalah
Kajian seputar penggunaan partikel
‘ba’ dan ‘na’ dapat dilakukan dari berbagai pendekatan linguistik, misalnya
dari perspektif fonologi, morfologi, sintaksis, pragmatik, ataupun
sosiolinguistik. Namun, mengingat kajian komprehensif mengenai fenomena
penggunaan partikel ‘ba’ dan ‘na’ dengan melibatkan semua pendekatan tidaklah
memungkinkan maka penulis memilih salah satu saja pendekatan linguistik untuk
mengkaji fenomena kebahasaan tersebut, yaitu perspektif pragmatik. Tanpa
mengecilkan peran pendekatan linguistik lain, kajian pragmatik dirasa dapat
memberikan gambaran riil tentang fenomena kebahasaan tentang penggunaan
partikel ‘ba’ dan ‘na’ pada bahasa Melayu dialek Tarakan Kalimantan Timur.
Secara lebih nyata permasalahan
yang ingin penulis kaji lebih mendalam dalam penelitian ini adalah:
1.
Konteks pragmatik apa
saja yang mempengaruhi kemunculan partikel ‘ba’ dan ‘na’ dalam bahasa Melayu
dialek Tarakan Kalimatan Timur?
2.
Bagaimana pola
penggunaan partikel ‘ba’ dan ‘na’ dalam struktur kalimat bahasa Melayu dialek
Tarakan Kalimantan Timur?
3.
Apa manfaat penggunaan
partikel ‘ba’ dan ‘na’ bagi penutur bahasa Melayu dialek Tarakan Kalimantan
Timur?
Ketiga pertanyaan tersebut di atas menjadi
permasalahan inti untuk mengantarkan penulis melakukan penelitian secara
holistik. Pertanyaan pertama merupakan faktor genetik, pertanyaan kedua faktor
objektif, dan ketiga faktor afektif yang ingin diteliti secara mendalam.
C.
Tujuan Penelitian
Seperti telah diungkapkan pada
bagian sebelumnya, penelitian ini terutama ingin memberikan sumbangan terhadap
pelestarian bahasa-bahasa lokal yang menjadi kekayaan bangsa Indonesia. Namun secara khusus
penelitian ini bertujuan untuk:
1.
mendeskripsikan konteks
pragmatik yang mempengaruhi kemunculan partikel ‘ba’ dan ‘na’ dalam bahasa
Melayu dialek Tarakan Kalimantan Timur,
2.
mendeskripsikan pola
penggunaan partikel ‘ba’ dan ‘na’ dalam struktur kalimat bahasa Melayu dialek
Tarakan Kalimantan Timur,
3.
mendeskripsikan manfaat
penggunaan partikel ‘ba’ dan ‘na’ dalam bahasa Melayu dialek Tarakan Kalimantan
Timur.
D.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini nantinya
secara nasional akan sangat bermanfaat terutama dalam rangka pelestarian
kekayaan bahasa yang dimiliki. Masyarakat lokal dan pemerintah daerah Tarakan
Kalimantan Timur secara pragmatik mendapatkan dokumentasi tertulis yang
tentunya bermanfaat untuk perkembangan kultural masyarakat lokal. Melalui hasil
penelitian ini masyarakat lokal dapat semakin mencintai kekayaan budaya lokal
dan kebijaksanaan setempat berkaitan dengan bahasa mereka dan semakin
memotivasi diri untuk melestarikan kekayan bahasa dan budaya yang dimiliki.
Bagi penulis sendiri, hasil penelitian ini akan memberi insprirasi untuk
semakin setia menggeluti bidang kajian linguistik dan untuk melakukan tindakan
nyata dalam rangka melestarikan kekayaan bahasa dan budaya bangsanya. Secara
teoretis hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan teoretis guna
mengembangkan kekayaan ilmu linguistik secara umum.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Kajian Teori
Penelitian ini melibatkan beberapa
hal pokok yang erat kaitannya dengan masing-masing pokok masalah yang
diketengahkan dalam penelitian, yaitu partikel ‘ba’ dan ‘na’, bahasa Melayu
dialek Tarkan Kalimantan Timur dan konteks pragmatik. Dalam bab ini akan
dibahas terlebih dahulu peta teori dari masing-masing hal tersebut.
1.
Partikel ‘ba’ dan ‘na’
Dalam kajian linguistik, partikel
merupakan kata yang merujuk pada unsur-unsur gramatikal minor dalam sebuah
bahasa (Verhaar, 1996: 10) yang biasanya berjenis kata fungsi (function word),
misalnya artikel a, an, dan the, preposisi up, in, out,
konjungsi and, or, but, dan juga afik un- , in- , -ness, dan–ly
dalam bahasa Inggris. Sedangkan Kridalaksana (2007, 19) merumuskan bahwa
partikel adalah bentuk-bentuk ujaran yang berstatus kata yang terbatas
kebebasannya. Bentuk-bentuk seperti pada, dari, karena, ke,
untuk dan sebagainya, terbatas kebebasannya dibandingkan dengan
bentuk-bentuk rumah, pergi, sangat, dan sebagainya.
Melihat fungsi dan posisi dalam struktur
tata bahasa Melayu ‘ba’ dan ‘na’ memiliki ciri-ciri sebagai partikel.
Perhatikan contoh berikut:
(1)
Jangan begitu ba.
(2)
Anak kecil yang kamu
ceritakan itu na.
Kata ‘ba’ dalam (1) dan ‘na’ dalam
(2) tidak mengurangi makna pokok ketika kehadirannya tidak terjadi. Hal ini
menunjukkan bahwa kedua kata tersebut memiliki fungsi yang tidak pokok atau
minor dalam bahasa Melayu. Selain itu fungsi ‘ba’ dan ‘na’ dalam (1) dan (2)
lebih mirip dengan partikel lain dalam bahasa Melayu dialek Betawi ’dong’ dan
‘tuh’. Hal ini bisa dilihat dalam contoh (3) dan (4) berikut:
(3)
Jangan begitu dong.
(4)
Anak kecil yang kamu
ceritakan itu tuh.
Dari contoh (3) dan (4), kata ‘ba’
dan ‘na’ dapat menggantikan partikel lain dalam bahasa Melayu. Melihat fungsi
yang bisa digantikan, analogi yang bisa dirumuskan adalah bahwa kata ‘ba’ dan
‘na’ merupakan partikel dalam bahasa Melayu. Karena dua partikel tersebut hanya
muncul pada varian dialek Tarakan Kalimnatan Timur maka dapat dikatakan bahwa
kata ‘ba’ dan ‘na’ adalah partikel dalam bahasa Melayu dialek Tarakan
Kalimantan Timur.
2.
Bahasa Melayu
Secara historis, bahasa Indonesia
merupakan salah satu dialek temporal dari bahasa-bahasa Melayu, yang struktur
maupun khazanahnya sebagian besar masih sama atau mirip dengan dialek-dialek
temporal terdahulu, seperti bahasa Melayu Klasik dan bahasa Melayu Kuno. Secara
sosiologis, bolehlah dikatakan bahwa bahasa Indonesia baru dianggap ‘lahir’
atau diterima eksistensinya pada tanggal 18 Agustus 1928. Secara yuridis baru
tanggal 18 Agustus 1945 bahasa Indonesia secara resmi diakui keberadaannya
(Kridalaksana, 2007: 2).
Dalam keadaannya sekarang ini,
bahasa Indonesia menumbuhkan varian-varian, yaitu varian menurut pemakai yang
disebut dialek. Lebih lanjut Kridalaksana mengemukakan bahwa variasi bahasa
berdasarkan pemakai bahasa dibedakan atas:
a.
dialek regional,
yaitu variasi bahasa yang dipakai di daerah tertentu. Variasi regional ini
membedakan bahasa yang dipakai di satu tempat dengan yang dipakai di tempat
lain, walaupun variasi-variasinya berasal dari satu bahasa. Kemudian, dikenal
bahasa Melayu dialek Ambon, dialek Jakarta,
dialek Tarakan, atau dialek Medan.
b.
dialek sosial,
yaitu dialek yang dipakai oleh kelompok sosial tertentu atau yang menandai
startum sosial tertentu, misalnya dialek wanita, dialek remaja.
c.
dialek temporal,
yaitu dialek yang dipakai pada kurun waktu tertentu, misalnya dialek Melayu
zaman Sriwijaya, dialek Melayu zaman Abdullah.
d.
idiolek,
yaitu keseluruhan ciri-ciri bahasa seseorang. Sekalipun semuanya berbahasa Indonesia,
namun masing-masing mempunyai ciri-ciri khas pribadi dalam lafal, tata bahasa,
atau pilihan dan kekayaan kata yang berbeda satu sama lain.
3.
Bahasa Melayu Dialek
Tarakan Kalimantan Timur
Bahasa Melayu Dialek Tarakan
Kalimanatan Timur adalah bahasa melayu yang dimiliki sebagai bahasa pertama
oleh penduduk Tarakan Kalimantan Timur. Bahasa ini menjadi bahasa yang dipakai
setiap hari dalam hampir semua konteks dan untuk semua kepentingan komunikasi.
Secara linguistik bahasa Melayu
digunakan untuk merujuk pada varian bahasa Indonesia yang menjadi dialek di
suatu daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini selaras dengan
pandangan mengenai ketentuan ciri bahasa yang menjadi objek penelitian bahasa,
yaitu bahwa bahasa yang diteliti haruslah bahasa yang alamiah, lisan, normal
pemakaiannya, dan yang digunakan secara wajar (Sudaryanto, 1992: 45). Melihat
ciri-ciri tersebut, bahasa Melayu yang adalah bahasa yang digunakan secara
lisan, alamiah, normal pemakainnya, dan wajar merupakan dialek yang konkret di
daerah Tarakan Kalimantan Timur dari rumpun bahasa Indonesia yang abstrak.
Artinya bahwa bahasa Indonesia yang ada pada tataran teori menjadi dialek
begitu digunakan secara konkret di suatu wilayah tertentu. Dasar pertimbangan
inilah, yaitu bahwa bahasa yang digunakan dalam kehidupan secara nyata dan
wajar, yang menjadikan para linguis lebih menyebut bahasa Indonesia sebagai
bahasa Melayu. Disebut Melayu karena secara fonologis, morfologis, semantis,
dan sintaktis memiliki kemiripan dengan bahasa-bahasa yang menjadi bahasa asli
bagi ras penutur aslinya, yaitu Melayu (Durdje Durasid, dkk., 1990:3). Dengan
demikian, yang dimaksud dengan bahasa Melayu adalah varian bahasa Indonesia yang digunakan secara konkret oleh
penutur di wilayah tertentu di Indonesia.
4.
Pragmatik
Verhaar (1996: 14) mengatakan bahwa
pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang membahas tentang apa yang
termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan pendengar
dan sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal ‘ekstralingual’ yang dibicarakan.
Perlu disampaikan pula bahwa penekanan pada rumusan ini adalah pada fungsi
komunikasi. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Levinson (1983: 9).
(5)
Pragmatik merupakan
kajian tentang hubungan antara bahasa dan konteks yang diformalkan dalam wujud
tata bahasa, atau dirumuskan dalam struktur sebuah bahasa.
Rumusan ini lebih menitikberatkan
pada aspek-aspek hubungan antara bahasa dan konteks yang relevan dalam
penulisan tata bahasa. Sedangkan Gazdar (1979: 2) merumuskan bahwa pragmatik =
semantik – kebenaran realitas. Di bagian lain Levinson (1983: 21) memberikan
koreksi atas rumusannya terdahulu. Dikatakan bahwa pragmatik merupakan kajian
tentang hubungan antara bahasa dan konteks yang menjadi dasar untuk pemahaman
bahasa. Dalam rumusan ini Levinson memberikan penekanan pada fungsi untuk
pemahaman bahasa. Pemahaman bahasa di sini dipakai untuk memberikan tekanan
pada fakta bahwa pemahaman sebuah tuturan membutuhkan lebih dari sekadar
mengerti semua makna kata yang dituturkan dan semua hubungan gramatikal antar
katanya. Namun, pemahaman sebuah tuturan bahasa butuh membuat inferences
yang akan menghubungkan apa yang dikatakan dengan apa yang diandaikan dan apa
yang telah diucapkan sebelumnya. Dan berikut adalah rumusan pragamtik yang
banyak dikutip sebagai definisi pragmatik dalam buku-buku pragmatik. Definisi
berikut menjadi inti kajian pragmatik terutama dalam aspek ketepatan dan
keluwesan berbahasa.
(6)
Pragmatik merupakan
kajian tentang kemampuan pengguna bahasa untuk memasangkan kalimat-kalimat
dalam tuturan dengan konteks yang sesuai.
Definisi (5) di atas menempatkan pragmatik setara
dengan aspek-aspek kajian linguistik lain. Karena jika pragmatik dianggap salah
satu aspek kompetensi linguistik dalam Pengertian Chomsky (1957), maka seperti
halnya aspek-aspek lain pragmatik pasti mengandung kemampuan kognitif abstrak.
Pandangan ini sama dengan inti kajian semantik yang menekankan kesesuaian
kondisi realitas (truth condition) yang berulang dengan kaidah-kaidah
bahasa yang berterima. Ini berarti teori pragmatik juga seharusnya mampu
memprediksi konteks yang cocok untuk setiap kalimat yang berterima dalam sebuah
bahasa dan dalam pemahaman semantik tertentu.
5.
Konteks Pragmatik
Dari rumusan mengenai definisi
pragmatik di atas secara umum dinyatakan bahwa pragmatik menekankan kajiannya
pada tuturan bahasa yaitu tuturan yang dipakai dalam komunikasi nyata. Dalam
komunikasi yang sesungguhnya, setiap tuturan bahasa pasti bergantung pada
konteks-konteks komunikasi yang biasa disebut konteks pragmatik. Secara
sederhana konteks pragmatik dapat dinyatakan sebagai factor-faktor yang
menentukan pemaknaan tuturan bahasa seperti yang dimaksud oleh penutur dan
mitra tutur.
Perlu
dikemukakan bahwa konteks yang dimaksud dalam tulisan ini adalah konteks
seputar penggunaan bahasa dalam tuturan. Untuk itu perlu dijelaskan lebih
dahulu keterkaitan antara bahasa dan hakekat konteks.
Fakta
bahwa bahasa selalu berhubungan dengan konteks dapat dijelaskan dalam beberapa
cara. Pertama, penutur bahasa menggunakan bahasa yang berbeda untuk maksud yang
sama dalam konteks yang berbeda. Beberapa konteks berikut memungkinkan penutur
menggunakan bahasa yang berbeda.
(7)
a. Meminjam
sejumlah uang dari orang dekat untuk membeli sebuah koran.
b.
Meminjam sejumlah uang
dari salah seorang saudara untuk membayar sewa rumah.
c.
Meminjam uang dari bank
untuk membeli sebuah rumah.
Akan
terlihat jelas bahwa dalam setiap situasi di atas banyak hal dapat dikemukakan.
Yang perlu dicatat adalah bahwa tipe bahasa yang berbeda akan disesuaikan
dengan konteks, dan bahwa bahasa yang digunakan sangat tergantung pada hal-hal
seperti siapa yang terlibat dalam tuturan, relasi antara penutur dan mitra
tutur, dan maksud yang ingin disampaikan dalam tuturan.
Cara
kedua untuk mengkaji hubungan bahasa dengan konteks berkaitan dengan hakekat
bahasa, yaitu bahwa tuturan yang sama mungkin memiliki maksud yang berbeda
dalam konteks yang berbeda., Misalnya
(8)
Seorang teman memberi
saran tentang kemungkinan menemukan kunci motor dalam saku: “Rupanya kamu harus
merogoh sakumu lebih dalam lagi.”
(9)
Seorang teman memberi
komentar tentang harga mobil yang ternyata lebih mahal dari perkiraan mereka
sebelumnya: “Rupanya kamu harus merogoh sakumu lebih dalam lagi.”
Meski
tuturan konkretnya sama namun karena konteks yang berbeda maka kedua tuturan
yang sama tersebut memiliki makna yang berbeda.
Cara
ketiga terkait dengan mekanisme intuitif penutur bahasa dalam merangkai maksud
tuturan. Meskipun sebuah tuturan diambil dari konteksnya, penutur bahasa tetap
mampu menangkap konteks yang terkait. Misalnya,
(10)
Tigapuluh sama.
(11)
Pertama, pastikan bahwa
tidak ada bagian yang kurang lalu pasangkan bagian kaki terlebih dahulu.
(12)
Kota
ini tidak cukup besar untuk kita berdua.
Konteks
umum untuk contoh (10) berkaitan dengan pertandingan tenis lapangan. Untuk
contoh (11), konteks umumnya adalah instruksi untuk merangkai rangkaian meja
belajar atau peralatan furniture lain. Sedangkan contoh (12) biasanya
berkonteks adegan film yang menggambarkan dua orang cowboy yang
bermusuhan ketika saling bertemu di suatu kota.
Semakin
kaya penutur bahasa mengalami konteks tuturan dalam peristiwa tuturan yang
nyata, maka semakin ahli penutur bahasa tersebut menyesuaikan bahasanya untuk
konteks-konteks tuturan yang ditemui (Hewings and Hewings, 2005: 19). Lebih
lanjut Hewings & Hewings mengemukakan bahwa kemampuan ini bersifat intuitif
dan otomatis.
Secara
garis besar dapat dikemukakan bahwa konteks tuturan adalah apa saja yang
terkait dengan tuturan (2005: 19-20). Meskipun hal ini kurang membantu
memberikan gambaran mengenai konteks tuturan, paling tidak memberi bekal para
linguis untuk melakukan kajian lebih lanjut mengenai konteks tuturan. Dari
rumusan sederhana tersebut dapatlah dikemukakan bahwa terdapat dua unsur
terkait dengan tuturan, yaitu segala sesuatu terkait dengan bahasa (linguistic)
dan diluar bahasa (non-linguistic) yang memungkinkan penutur dan mitra tutur
berhasil menafsirkan tuturan secara tepat (appropriate). Lebih lanjut perlu
dikemukakan bahwa masing-masing unsur tersebut masih mempunyai lapisan-lapisan
yang membedakan sebagai konteks tuturan. Diagram di bawah ini (lihat Hewings
& Hewings, 2005: 23) menggambarkan keterkaitan antara tuturan dan
lapisan-lapisan konteks yang patut dipertimbangkan untuk memahami maksud
tuturan secara lebih tepat.

IV.
Wider Socio-

III.
Local
Situational
Context

II.
Wider
Linguistic
Context

I.
Local
Linguistic
Context

Utterance
Diagram
1. Tuturan dalam konteks
Yang
dimaksud dengan konteks linguistik lokal (Local Linguistic Context)
adalah bahasa dalam tuturan baik yang tersirat seperti deictics,
pronomina, dan kata-kata gramatikal lain maupun yang berupa kata-kata lain yang
diasumsikan menjadi lanjutan tuturan. Dari contoh (12) Kota ini tidak cukup besar untuk
kita berdua, kata ini dan kita merupakan contoh konteks linguistik
lokal. Kata-kata tersebut merujuk pada sesuatu yang diasumsikan telah diketahui
sebelumnya baik oleh penutur maupun mitra tutur. Dalam contoh (11), penutur
memahami sepenuhnya bahwa tuturan (11) bukanlah tuturan tunggal, melainkan
tuturan yang mengisyaratkan adanya tuturan lanjutan. Informasi sebagai tuturan
lanjutan yang diharapkan atau diasumsikan juga merupakan contoh konteks
linguistik lokal.
Konteks
linguistik meluas (Wider Linguistic Context) merujuk pada sesuatu yang
menghubungkan suatu teks dengan teks lain, dan pada sesuatu yang memungkinkan
penutur memanfaatkan pengalaman sebelumnya terhadap teks lain untuk memahami
sebuah teks. Mekanisme ini juga sering disebut hubungan intertekstual yang
sering diartikan sebagai seperangkat pengetahuan yang mengantarkan penutur
bahasa pada sebuah teks memanfaatkan pengalaman terhadap teks-teks lain
sebelumnya. Contoh yang lebih jelas misalnya dalam memahami teks berupa
cerita-cerita yang berseri dalam Harry Potter. Tanpa penjelasan terinci
mengenai peristiwa-peristiwa dalam cerita seri berikutnya, pembaca telah
mengetahui dengan jelas semua peristiwa terkait dengan peristiwa pada cerita
berikutnya.
Konteks
situasi lokal termasuk didalamnya adalah waktu, tempat, usia, jenis kelamin
penutur dan mitra tutur beserta status sosialnya. Sedangkan konteks
sosial-budaya meluas (Wider Socio-cultural Context) merujuk pada latar
belakang yang lebih luas yang memungkinkan penutur memahami peristiwa
komunikasi secara benar. Latar belakang ini termasuk aspek sosial dan politik
bahasa atau kelompok bangsa pengguna bahasa yang berlaku dalam masyarakatnya.
Pendekatan
kajian konteks dirintis oleh seorang linguis sekaligus seorang antropolog
bernama Bronislaw Malinowski. Malinowski (1923: 4) mendapat kesulitan pada saat
menerjemahkan kata-kata dan ide-ide dari penduduk asli Papua Nugini dalam
penelitian antropologisnya. Hal ini mengantarkannya pada pemahamannya akan
pentingnya konteks dalam komunikasi.
All
words which describe the native social order, all expressions referring to
native beliefs, to specific customs, ceremonies, magical rites –all such words
are obviously absent from English as from any European language. Such words can
only be translated into English, not by giving them imaginary equivalent —a
real one obviously cannot be found— but by explaining the meaning of each of
them through an exact Ethnographic account of the sociology, culture and
tradition of that native community. (Malinowski 1923/ 1994:1)
(Semua
kata yang melukiskan pranata sosial penduduk asli, semua ungkapan-ungkapan
tentang kepercayaan-kepercayaan asli, kebiasaan, upacara, ritual-ritual magis
–semua kata-kata semacam itu telah lama hilang dari bahasa Inggris dan dari
bahasa-bahasa Eropa lain. Kata-kata itu hanya dapat diterjemahkan dalam bahasa Inggris,
bukan dengan memberikan padanan kata rekaan –karena padanan asli tidak pernah
ditemukan— tetapi dengan memberikan penjelasan tentang makna masing-masing kata
melalui kajian-kajian etnografis dari masyarakat, budaya dan tradisi masyarakat
asli.)
Bagi
Malinowski, kata-kata akan bermakna hanya jika dikaitkan dengan unsur-unsur
konteks yang memungkinkan kata-kata tersebut digunakan.
Meskipun
Malinowski menekankan pentingnya konteks dalam komunikasi, linguis satu ini
tidak merumuskan secara jelas baik tentang hakekat konteks maupun pengaruhnya
terhadap pilihan bahasa. Hal ini menjadi kajian lebih lanjut para peneliti
untuk secara mendalam mengkaji hubungan konteks dengan bagaimana bahasa
dimanfaatkan untuk tujuan komunikasi. Tiga peneliti, yaitu John Rupert Firth,
Dell Hymes, dan Michael Halliday, menghasilkan rumusan seputar konteks yang
cukup mantap dan menjadi rujukan para peneliti lain.
Kajian
J.R. Firth mengemukakan beberapa konteks situasi tertentu yang membantu
memprediksi bagaimana bahasa digunakan. Firth (1957: 182) mengajukan beberapa
dimensi situasi yang memberi pengaruh pada tuturan, yaitu: 1) karakter
partisipan yang relevan seperti pribadi penutur, kepribadian penutur yang
mencakup tindakan berbahasa dan non-bahasa dari penutur, 2) benda-benda yang
terkait dengan permasalahan pokok tuturan, dan 3) hasil/ akibat dari tuturan
tersebut.
Untuk
lebih menjelaskan, Firth memberi ilustrasi tentang peristiwa tuturan di gedung
teater antara pembeli tiket dan petugas tiket. Karakter partisipan yang relevan,
yaitu seorang merupakan pembeli yang bermaksud mendapatkan tempat duduk untuk
menonton pertunjukan yang masih tersedia dan membeli tiket, sedangkan karakter
lainnya sebagai petugas pemesanan tiket yang mempunyai akses untuk memberikan
informasi mengenai ketersediaan tempat duduk dan menerima pembayaran. Aktivitas
bahasa bisa berupa salam, permintaan, konfirmasi, dan sebagainya. Aktivitas
non-bahasa bisa berupa menunjukkan informasi tempat duduk dari layar computer,
menerima kartu kredit dan memproses pemesanan tiket. Benda-benda yang terkait
dengan peristiwa tuturan misalnya computer, denah tempat duduk, kartu kredit,
dan mesin transaksi kartu kredit, tiket dan sebagainya. Akibat/ hasil dari
tuturan adalah bahwa pembeli tiket mendapatkan tiket untuk pertunjukan yang
dikehendaki dan tempat duduk telah disediakan oleh petugas pemesanan tiket.
Fitur-fitur
konteks yang potensial membentuk makna dan ketepatan tuturan juga dikemukan
oleh Dell Hymes (dalam Bell
1976: 70-81). Fitur-fitur konteks ini biasa dikemukakan dalam rumusan
‘SPEAKING’.
S merujuk pada Setting and Scene,
yaitu waktu, tempat dan lingkungan terjadinya peristiwa tuturan,
P merujuk pada participants, yaitu
penutur dan mitra tutur,
E merujuk pada ends, yaitu tujuan atau
maksud sebuah peristiwa tuturan,
A merujuk pada act sequence, yaitu
bentuk dan isi peristiwa tuturan,
K
merujuk pada key, yaitu suasana peristiwa tuturan, seperti suasana
formal atau ‘gojeg’,
I
merujuk pada instrumentalities,
yaitu media bahasa yang digunakan dalam peristiwa tuturan,
N
merujuk pada norm of interaction and
interpretation, yaitu tata nilai perilaku dalam peristiwa tuturan,
G
merujuk pada genre, yaitu
bentuk-bentuk linguistik seperti puisi, kothbah, atau lelucon.
Sangat
dekat terkait dengan rumusan Firth, Michael Halliday mengkaji lebih mendalam
aspek-aspek konteks yang memberi pengaruh terhadap penggunaan bahasa dalam
tuturan. Bagi Halliday (1978), sosial konteks tersusun atas fitur-fitur umum
situasi yang secara bersamaan berfungsi menentukan teks (tuturan), yang
menunjukkan konfigurasi semantis secara khas disesuaikan dengan konteks yang
tersedia. Social context consists of those general properties of the
situation which collectively function as the determinants of text, in that they
specify the semantic configurations that the speaker will typically fashion in
contexts of the given type.
B.
Kerangka Konseptual
Setelah pengertian dan indikator
masing-masing komponen yang terlibat dalam penelitian dibahas secara luas maka
berikut akan disampaikan bentuk dan kerangka konseptual serta hubungan antar
variabelnya.
a.
Partikel ‘ba’ dan ‘na’
dan peta teorinya
Dalam pembahasan mengenai peta
teori partikel ‘ba’ dan ‘na’ dalam bahasa Melayu dialek Tarakan Kalimantan
Timur dilakukan untuk mengetahui kedudukan partikel ‘ba’ dan ‘na’ dalam bahasa
Melayu dialek Tarakan terutama dilihat dari pentingnya partikel tersebut dalam
bahasa Melayu dialek Tarakan dalam proses komunikasi harian. Hal ini dilihat
dari keharusan kemunculan partikel tersebut dalam komunikasi harian, misalnya
apakah partikel tersebut harus dan selalu hadir dalam setiap komunikasi. Dalam
pemetaan teori ini nantinya juga dipakai untuk mengetahui kedudukan dan fungsi
partikel ‘ba’ dan ‘na’ secara linguistik dalam aspek fonologi, morfologi,
sintaksis, dan semantiknya.
b.
Bahasa Melayu dialek
Tarakan Kalimantan Timur dan peta teorinya
Pembahasan mengenai bahasa Melayu dialek Tarakan dan
peta teorinya dilakukan untuk memberikan batasan yang jelas mengenai sumber
data kajian yang dimaksud dengan bahasa Melayu dialek Tarakan. Hal ini
dilakukan agar secara metodologis kajian penelitian lebih terarah dan tidak
menyimpang dari rancangan penelitian guna mendapatkan hasil yang diharapkan.
Dalam bagian ini juga dilakukan identifikasi partikel-partikel lain yang ada
dalam bahasa Melayu dialek Tarakan sekaligus juga dijadikan sumber rujukan
untuk menelusuri sejarah penggunaan partikel ‘ba’ dan ‘na’ secara diakronis
dari waktu ke waktu.
c.
Konteks pragmatik
Konteks pragmatik dalam kajian
penelitian ini diterapkan untuk mendapatkan data yang akurat yang kemudian
nantinya dipakai untuk dasar analisis mengenai konteks-konteks pragmatik apa
saja yang terlibat dalam penggunan partikel ‘ba’ dan’na’ dalam bahasa Melayu
dialek Tarakan. Dalam tahapan ini kajian mengenai konteks pragmatik dimanfaatkan
termasuk untuk menyusun instrument pengumpulan data di lapangan.
Data yang telah diarahkan sesuai
dengan konteks-konteks pragmatik nantinya akan memberikan dukungan kajian
penelitian untuk menjawab pertanyaan seputar konteks pragmatik apa saja yang
menentukan penggunaan partikel ‘ba’ dan ‘na’ dalam bahasa Melayu dialek
Tarakan. Kajian ini dipakai untuk mendapatkan hasil kajian dari segi objektif
dalam rangka rangkaian penelitian yang bersifat holistik.
C.
Kerangka Pikir
Agar penelitian ini bisa
dilaksanakan dengan lancar, dan mengarahkan analisisnya pada tujuan, berikut
ini dikembangkan kerangka pikir yang akan digunakan dalam penelitian ini. Namun
kerangka pikir ini tetap bersifat lentur dan terbuka, ketepatan penggunaannya
akan ditentukan dan disesuaikan dengan apa yang terjadi di lapangan. Dalam
penelitian ini, proses penelitian berlangsung dalam bentuk siklus seperti
halnya penelitian-penelitian kulitatif pada umumnya.
Secara singkat kerangka pikir bagi
penelitian ini dapat digambarkan dengan skema 1. Skema kerangka pikir,
sebagai berikut:









faktor
genetik faktor
objektif factor
afektif


pragmatik
penggunaan penggunaan penggunaan
partikel
‘ba’ dan ‘na’ partikel
‘ba’ dan ‘na’ partikel
‘ba’ dan ‘na’
![]() |
![]() |
![]() |
|||

makna
komunikasi
menggunakan
partikel
‘ba’ dan ‘na’
meningkatkan
pemahaman
dan
keselarasan bunyi
tuturan
Sebagai penjelasan kerangka pikir
tersebut, dalam kegiatan komunikasi lisan dalam bentuk tuturan, penutur bahasa
Melayu dialek Tarakan dipengaruhi oleh konteks-konteks pragmatik seperti umur,
jenis kelamin, latar belakan pengetahuan dan konteks-konteks pragmatik seperti
telah diuraikan sebelumnya yang membuat mereka menggunakan partikel ‘ba’ dan
‘na’ dalam pola-pola struktur kalimat yang berterima secara tepat (appropriate)
dalam penggunaan kedua partikel tersebut. Dampak dan manfaat penggunaan
partikel ‘ba’ dan ‘na’ dalam komunikasi antarpenutur dirasakan positif dalam
hal pemahaman dan keberterimaan. Faktor-faktor ini mendorong penutur bahasa
Melayu dialek Tarakan termotivasi untuk selalu menggunakan partikel ‘ba’ dan
‘na’ sesuai dengan konteks-konteks pragmatik dan pola-pola struktur kalimat
yang berterima.
BAB
III
TUJUAN
DAN MANFAAT PENELITIAN
A.
Tujuan Penelitian
Seperti telah diungkapkan pada
bagian sebelumnya, penelitian ini terutama ingin memberikan sumbangan terhadap
pelestarian bahasa-bahasa lokal yang menjadi kekayaan bangsa Indonesia. Namun secara khusus
penelitian ini bertujuan untuk:
1.
mendeskripsikan konteks
pragmatik yang mempengaruhi kemunculan partikel ‘ba’ dan ‘na’ dalam bahasa
Melayu dialek Tarakan Kalimantan Timur,
2.
mendeskripsikan pola
penggunaan partikel ‘ba’ dan ‘na’ dalam struktur kalimat bahasa Melayu dialek
Tarakan Kalimantan Timur,
3.
mendeskripsikan manfaat
penggunaan partikel ‘ba’ dan ‘na’ dalam bahasa Melayu dialek Tarakan Kalimantan
Timur.
B.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini secara
nasional sangat bermanfaat terutama dalam rangka pelestarian kekayaan bahasa
yang dimiliki. Masyarakat lokal dan pemerintah daerah Tarakan Kalimantan Timur
secara pragmatik mendapatkan dokumentasi tertulis yang tentunya bermanfaat
untuk perkembangan kultural masyarakat lokal. Melalui hasil penelitian ini
masyarakat lokal dapat semakin mencintai kekayaan budaya lokal dan
kebijaksanaan setempat berkaitan dengan bahasa mereka dan semakin memotivasi
diri untuk melestarikan kekayan bahasa dan budaya yang dimiliki. Bagi penulis
sendiri, hasil penelitian ini memberi insprirasi untuk semakin setia menggeluti
bidang kajian linguistik dan untuk melakukan tindakan nyata dalam rangka
melestarikan kekayaan bahasa dan budaya bangsanya. Secara teoretis hasil
penelitian ini memberikan sumbangan teoretis guna mengembangkan kekayaan ilmu
linguistik secara umum.
Secara lebih luas, dokumentasi
linguistik bahasa Melayu Dialek Tarakan ini mendukung gerakan pelestarian
bahasa-bahasa asli daerah yang menjadi perhatian dunia melalui badan dunia
UNESCO. Seperti telah diketahui bersama bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa
melalui UNESCO telah menjadikan bahasa sebagai warisan dunia. Sehingga gerakan
pelestarian bahasa menjadi perhatian dan tanggung jawab dunia.
BAB
IV
METODOLOGI
PENELITIAN
Penelitian ini terutama mengkaji tentang penggunaan
partikel ‘ba’ dan ‘na’ dalam bahasa Melayu dialek Tarakan Kalimantan Timur.
Untuk memperoleh hasil yang akurat seperti yang diharapkan maka penelitian ini
juga menerapkan metode yang disyaratkan bagi sebuah kajian ilmiah. Hal ini
dilakukan untuk memenuhi syarat keilmuan dari sebuah penelitian seperti yang
diungkapkan oleh Jujun S. Suriasumantri (dalam Sudaryanto 1992: 1), yaitu bahwa
‘pengetahuan yang diproses menurut metode ilmiah merupakan pengetahuan yang
memenuhi syarat-syarat keilmuan, dan dengan demikian dapat disebut pengetahuan
ilmiah atau ilmu’.
A.
Lokasi Penelitian
Penelitian kajian tentang partikel
‘ba’ dan ‘na’ ini dilakukan di wilayah geografis Kota Madya Tarakan Kalimantan
Timur. Kota Tarakan dipilih mengingat penggunaan partikel ‘ba’ dan ‘na’ dalam
komunikasi sehari-hari menggunakan bahasa Melayu menjadi hal yang sangat biasa
dan wajar. Artinya dari sudut pandang frekuensi kemunculan partikel ‘ba’ dan
‘na’ dalam dialek ini sangat signifikan. Seperti telah dikemukakan sebelumnya
bahwa bahasa yang layak dijadikan objek penelitian adalah bahasa yang secara
wajar digunakan dalam komunikasi riil secara otomatis tanpa syarat-syarat
kemunculan yang rumit (Sudaryanto, 1992: 40 – 50) Di samping itu tingkat
sebaran lokasi, varian penutur, nosi, dan situasi penggunakan partikel tersebut
cukup merata.
Mengingat kondisi geografis Tarakan
yang merupakan sebuah pulau kecil dengan penduduk asli kurang lebih 200.000
jiwa, maka lokasi penelitian dilakukan di sebanyak mungkin wilayah Kota Madya
Tarakan. Kelengkapan data diperoleh dari pengembangan konteks tuturan berupa
peristiwa-peristiwa tindak tutur yang berbeda atas dasar nosi atau topik khas
pada lingkup tempat, profesi, ritual keagamaan resmi dan tidak resmi, dan pada
variasi kedekatan relasi penutur dan mitra tutur.
B.
Strategi Penelitian
Berdasarkan masalah penelitian ini
yang lebih menekankan pada bentuk dan fungsi bahasa dalam peristiwa komunikasi,
jenis penelitian dengan strateginya yang terbaik adalah penelitian kualitatif
deskriptif. Jenis penelitian ini dipilih karena dimungkinkan untuk menangkap
berbagai informasi kualitatif dengan deskripsi teliti dan penuh nuansa, yang
lebih berharga daripada sekedar penyataan jumlah ataupun frekuensi dalam bentuk
angka. Strategi yang digunakan adalah studi kasus, dan karena lokasi studi
terdiri dari beberapa lokasi dengan kekhususan nosi tersendiri yang akan
merupakan unit analisis sendiri-sendiri pula yang selanjutnya akan disatukan
dalam analisis antarkasus untuk menemukan simpulan studi secara lengkap, maka
studi kasus ini merupakan penelitian dengan strategi kasus ganda.
Mengingat kajian teori mengenai
penggunaan partikel ‘ba’ dan ‘na’ dalam bahasa Melayu dialek Tarakan telah
tersedia, maka peneliti merancang sebelumnya fokus penelitian dan mengkaji
secara teoretis berdasarkan pada tujuan dan minat peneliti sebelum peneliti
masuk ke lapangan studi. Artinya, penelitian ini juga bersifat penelitian
terpancang atau embedded research (Sutopo, 2006: 39).
C.
Jenis Data dan Sumber
Data
Mengingat penelitian ini mengkaji
tentang penggunaan bahasa dan penggunaan bahasa seharusnya dalam kerangka
komunikasi lisan, maka jenis data penelitian ini berupa data kualitatif. Jenis
data yang dikumpulkan terutama berupa tuturan kontekstual dalam
peristiwa-peristiwa komunikasi yang wajar yang dilakukan oleh penutur asli
bahsa Melayu dialek Tarakan.
Data dalam bentuk tuturan itu aka
digali dari beragam sumber data, dan jenis sumber data yang akan dimanfaatkan
dalam penelitian ini meliputi:
1.
Informan atau nara sumber yang adalah
penutur asli, yang terdiri dari anak-anak muda usia sekolah menengah atas,
pemuka agama, penjual dan pembeli di pasar, penumpang pesawat di bandara, serta
para pengunjung supermarket dan mal. Mengingat nara
sumbernya adalah manusia yang tentu memiliki keragaman informasi yang
mempengaruhi kualitas data maka peneliti menentukan bahwa nara
sumber penelitian adalah masyarakat dengan tingkat penguasaan bahasa Melayu
dialek Tarakan yang baku
dilihat dari keberterimaan bahasa yang digunakan dalam sebanyak mungkin konteks
dan situasi.
2.
Tempat dan peristiwa
tindak tutur yang menjadi sumber data terdiri dari lingkungan kerja berupa
kantor, pasar, mal, hotel, dan bandara, lingkungan keluarga misalnya percakapan
makan malam dan bertamu, serta lingkungan bermain seperti telah disebutkan
sebelumnya yaitu mal, dan tempat-tempat wisata setempat, yaitu pantai Amal,
pantai Juwata, dan kolam renang Juwata Tirta.
D.
Teknik Sampling (Cuplikan)
Dalam penelitian kualitatif, teknik
cuplikan yang digunakan bukanlah cuplikan statistik atau yang biasa dikenal
sebagai probability sampling yang biasa digunakan dalam penelitian
kuntitatif (Sutopo, 2006: 63). Penelitian kualitatif cenderung menggunakan
teknik cuplikan yang bersifat selektif dengan menggunakan pertimbangan
berdasarkan konsep teoretis yang digunakan, keingintahuan pribadi peneliti,
karakteristik empirisnya, dan lain-lain. Oleh karena itu cuplikan yang akan
digunakan dalam penelitian ini lebih bersifat purposive sampling, atau
lebih tepat disebut sebagai cuplikan dengan criterion-based selection
(Goetz & LeCompte dalam Sutopo, 2006). Dalam hal ini peneliti akan memilih
informan yang dipandang paling tahu, sehingga kemungkinan pilihan informan
dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kemantapan peneliti dalam
memperoleh data. Cuplikan semacam ini lebih cenderung sebagai internal
sampling yang member kesempatan bahwa keputusan bisa diambil begitu
peneliti mempunyai suatu pikiran umum yang muncul mengenai apa yang sedang
dipelajari, dengan siapa akan berbicara, kapan perlu melakukan observasi yang
tepat, dan juga berapa jumlah serta macam dokumen yang perlu ditelaah.
E.
Teknik Pengumpulan
Data
Seperti telah disinggung di bagian
sebelumnya, penelitian ini membutuhkan sumber data berupa tuturan bahasa
manusia, dan bentuk penelitian dan jenis sumber data yang dimanfaatkan adalah
bentuk penelitian kualitatif, maka teknik pengumpulan data yang akan digunakan
dalam penelitian ini adalah:
1.
Wawancara mendalam
Wawancara jenis ini bersifat lentur
dan terbuka, tidak terstruktur ketat, tidak dalam suasana formal, dan bisa dilakukan
berulang pada informan yang sama, serta memberikan konteks data yang alami dan
wajar yang menjadi persyaratan pokok suatu penelitian bahasa. Pertanyan yang
diajukan bisa semakin terfokus sehingga infomasi yang bisa dikumpulkan semakin
rinci dan mendalam. Kelonggaran dan kelenturan cara ini akan mampu menggali
data yang dihasilkan dari kejujuran informan dalam memberikan informasi yang
sebenarnya, terutama yang berkaitan dengan factor afektif, berupa perasaan,
sikap, dan pandangan mereka terhadap penggunan partikel ‘ba’ dan ‘na’ dalam
komunikasi keseharian mereka. Teknik wawancara ini akan dilakukan untuk semua
informan.
2.
Observasi langsung
Dalam observasi ini peneliti hanya
sebagai pengamat yang hadir di lokasi tanpa terlibat dalam kegiatan tuturan.
Dalam penelitian kualitatif teknik ini sering disebut sebagai observasi
berperan pasif (Spradley dalam Sutopo, 2006: 75 – 77). Observasi langsung ini
dilakukan dengan cara formal dan informal, untuk mengamati berbagai kegiatan
dan peristiwa yang terjadi dalam peristiwa-peristiwa tuturan keseharian dalam
lingkungan keluarga, sekolah, tempat kerja, dan tempat bermain.
3.
Mencatat dokumen
Teknik ini akan dilakukan untuk
mengumpulkan data yang bersumber dari dokumen dan arsip terutama yang terdapat
dalam cerita rakyat setempat dan sumber-sumber data tertulis lainnya. Teknik
ini juga dikembangkan guna memperoleh bukti tertulis penggunaan partikel ‘ba’
dan ‘na’ dari waktu ke waktu guna menemukan pola perubahan struktur penggunaan
Kedua partikel tersebut.
F.
Pengembangan Validitas
Dengan mempertimbangkan varian data
penelitian yang diperoleh di lapangan yang beragam, maka peneliti bermaksud
membangun validitas data dengan hanya menggunakan validitas trianggulasi
sumber, yaitu mengumpulkan data sejenis dari beberapa sumber data yang berbeda,
misalnya mengenai kegiatan program yang digali dari sumber data yang berupa
informan, arsip, dan peristiwa tuturan. Hal ini juga berkaitan dengan varian
teknik pengumpulan data yang melibatkan wawancara, dokumentasi arsip dan
observasi. Dengan menggunakan trianggulasi sumber, peneliti dapat memperoleh
validitas data dengan mengkaji dan memperbandingkan data yang diperoleh dari
berbagai sumber berupa informan maupun hasil dokumentasi arsip dan observasi.
Trianggulasi sumber yang dipakai dapat dilihat dalam diagram berikut:






Diagram 2. Trianggulasi Sumber
G.
Teknik Analisis
Penelitian ini menggunakan teknik
analisis induktif, yaitu bahwa semua simpulan dibentuk dari semua informasi
yang diperoleh dari lapangan. Proses analisis ini dilakukan bersamaam sejak
awal dengan proses pengumpulan data, dengan melakukan beragam teknik refleksi
bagi pendalaman dan pemantapan data.Setiap data yang diperoleh akan selalu
dikomparasikan, setiap unit atau kelompoknya untuk melihat keterkaitannya
sesuai dengan tujuan penelitian. Selain itu pemantapan dan pendalaman data
proses yang dilakukan selalau dalam bentuk siklus, sebagai usaha verivikasi.
Unit analisis perkasus dalam
penelitian ini adalah tiap nosi atau setting peristiwa tuturan. Proses
analisis dilakukan sejak awal bersamaan dengan proses pengumpulan data dalam
bentuk refleksi. Karena penelitian ini akan dilakukan di beberapa tempat maka
analisis kasus yang digunakan adalah analisis antarkasus. Pada tiap kasusnya
proses analisis akan dilakukan dengan menggunakan model analisis interaktif.
Dalam model analisis ini, tiga komponen analisisnya yaitu reduksi data, ssajian
data, dan penarikan simpulan atau verifikasinya dilakukan dalam bentuk
interaktif dengan proses pengumpulan data sebagai suatu proses siklus.
Aktivitas dalam bentuk interaktif tersebut dilakukan baik pada analisis setiap
unit kasusnya, maupun pada analisis antarkasusnya, untuk memahami kesamaan dan juga
perbedaanya. Dalam melaksanakan proses ini peneliti aktivitasnya tetap selalu
bergerak di antara tiga komponen analisis tersebut sesudah pengumpulan data
selesai pada setiap unitnya dengan menggunakan waktu yang masih tersisa dalam
penelitian ini. Namun apabila simpulan akhir dirasakan belum cukup mantap, maka
peneliti tetap akan berusaha kembali ke lapangan untuk menggali data dengan
pertanyaan yang terfokus pada tujuan untuk mendapatkan data yang bisa mendukung
sebagai penguat simpulan akhirnya, Sebelum laporan penelitian disusun secara
lengkap.
Karena sifat penelitian kualitatif
yang lentur dan terbuka (Sutopo, 2006), meski penelitian ini menggunakan
strategi studi kasus terpancang dengan kegiatan yang dipustkan pada tujuan dan
pertanyan yang telah jelas dirumuskan, Namun proposal ini tetap bersifat
terbuka dan spekulatif karena segalanya secara pasti akan ditentukan kemudian
oleh keadaan yang sebenarnya ditemukan di lokasi studi. Unutk lebih jelasnya,
proses model analisi interaktif dapat digambarkan dengan skema 2. Skema
proses analisis interaktif, sebagai berikut (2006: 120):



data
![]() |
![]() |
(1) (2)






penarikan

H.
Prosedur Kegiatan
Kegiatan penelitian ini seluruhnya dilaksanakan
sebagai berikut:
1.
Persiapan
a.
Mengurus perjalanan
pengambilan data dari tiket perjalanan, akomodasi, dan perlengkapan rekam data
berupa voice recorder dan alat tulis.
b.
Menentukan lokasi
penelitian: berkoordinasi dengan pemimpin masyarakat (Pastor) mengenai kondisi
desa dengan karakteristik yang sesuai dengan pilihan. Kemudian memilih empat
desa yang dipandang paling tepat bagi pelaksanaan studi kasus ini.
c.
Meninjau desa-desa
terpilih sebagai lokasi penelitian, untuk secara sepintas mempelajari keadaannya,
serta kemungkinan memilih nara
sumber yang tepat, khususnya para tokoh masyarakat.
d.
Menyusun protocol
penelitian, pengembangan pedoman pengumpulan data berupa pertanyaan dan
petunjuk observasi, dan juga penyusunan jadwal kegiatan secara rinci.
e.
Memilih dan melatih
pembantu penelitian agar mampu secara tepat mengumpulkan data dan mencatat
dengan lengkap dan benar.
2.
Pengumpulan Data
a.
Mengumpulkan data di
lokasi studi dengan melakukan observasi, wawancara mendalam dan mencatat
dokumen dan arsip.
b.
Melakukan kajian
sekilas, pembahasan beragam data yang telah terkumpul dengan melaksanakan
refleksinya. Menentukan strategi pengumpulan data yang dipandang paling tepat,
dan menentukan focus, serta pendalaman dan pemantapan data, pada proses
pengumpulan data berikutnya.
c.
Mengatur data dalam
kelompok untuk kepentingan analisis, dengan memerhatikan semua variable yang
terlibat yang tergambar pada kerangka piker.
3.
Analisis Data
a.
Melakukan analisis
awal, bila data tuturan sudah lengkap.
b.
Mengembangkan bentuk
sajian data, dengan menyusun koding dan matriks bagi kepentingan analisis
lanjut.
c.
Melakukan analisis
perkasus dan mengembangkan matriks antar kasus.
d.
Melakukan verifikasi,
pengayaan, dan pendalaman data. Bila dalam persiapan analisis ternyata
ditemukan data yang kuarang lengkap atau kurang jelas, maka perlu dilakukan
pengumpulan data lagi secara lebih terfokus.
e.
Melakukan analisis
antar kasus. Semua hasil analisis disatukan dalam proses analisis antarkasus,
dan dikembangkan struktur sajian datanya bagi susunan laporan.
f.
Merumuskan simpulan
akhir sebagai temuan penelitian.
g.
Merumuskan implikasi
kebijakan sebagai bagian dari pengembangan saran dalam laporan akhir
penelitian.
4.
Penyusunan Laporan Penelitian
a.
Penyusunan laporan
awal.
b.
Peninjauan laporan: pertemuan
dengan sponsor yang mengundang para peneliti dan pakar yang cukup memahami
penelitian untuk mendiskusikan laporan yang telah disusun sebagai laporan awal.
c.
Perbaikan dan
penyempuranaan laporan, dan disusun sebagai laporan akhir penelitian.
d.
Perbanyakan laporan sesuai dengan kebutuhan,
dan dikirimkan ke sponsor.
BAB V
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini disampaikan hasil
penelitian dan pembahasan hasil penelitian dengan mempertimbangkan
faktor-faktor yang terkait baik secara teoretis maupun faktual empiris.
Pembahasan bagian pertama berbicara seputar Kota Madya Tarakan sebagai lokasi
penelitian dan sumber data penelitian berupa data kebahasaan yang diperoleh
dari penutur bahasa Melayu yang sekaligus juga merupakan penduduk Kodya
Tarakan. Bagian ini juga menjadi landasan pembahasan seputar konteks pragmatik
yang memengaruhi penggunaan partikel ‘ba’ dan ‘na’ yang menjadi pokok
pembahasan dalam penelitian ini. Bagian selanjutnya merupakan pembahasan
penggunaan partikel ‘ba’ dan ‘na’ dalam bahasa Melayu dialek Tarakan.
A.
Kota
Madya Tarakan
1.
Gambaran Umum
Dari data
penelitian berupa wawancara langsung dengan beberapa tokoh masyarakat setempat
dan dari data dokumen resmi berupa Undang-Undang RI No. 29 Tahun 1997
tertanggal 15 Desember 1997, nama Tarakan merujuk pada bahasa Tidung yang
berasal dari kata ‘Tarak’ yang berarti (ber-) temu, dan ‘Ngakan’ yang berarti
makan. Jika digabungkan kedua kata tersebut secara harfiah diartikan ‘tempat
bertemu’. Rujukan makna komprehensif dengan mengaitkan konteks yang ada
gabungan kedua kata itu, Tarakan, dimaknai sebagai ‘tempat para nelayan untuk
istirahat makan, bertemu masyarakat lain, serta melakukan barter hasil
tangkapan dengan nelayan dan kelompok masyarakat lain.’ Selain itu kata Tarakan
juga dimaknai sebagai ‘tempat pertemuan arus muara sungai Kayan, Sesayap, dan
Malinau.’
Sesuai dengan
namanya kota
Tarakan ini berfungsi sebagai tempat persinggahan atau tempat istirahat dan
melakukan pertemuan masyarakat dari Kerajaan Tidung pada masa sebelum
kedatangan Kolonial Belanda pada tahun 1896. Sampai sekarang Kodya Tarakan
masih berfungsi pokok sebagai kota ‘pertemuan’ dan ‘perdagangan’ antara
masyarakat yang tinggal di pulau utama Kalimantan dan masyarakat yang tinggal
di luar pulau Kalimantan seperti jawa, dan Sulawesi. Tarakan menjadi pintu
gerbang utama bagi siapa saja yang akan mengunjungi wilayah Kalimantan Timur
bagian Utara.
2.
Letak Geografis dan
Kependudukan
Kota Madya Tarakan secara geografis
terletak pada 30 14’ 23” - 30 26’ 37” Lintang Utara dan
1170 30’ 50” - 1170 40’ 12” Bujur Timur dan terdiri dari
dua pulau, yaitu pulau Tarakan dan pulau Sadau dengan luas wilayah mencapai
657,33 km2 dengan rincian wilayah daratan seluas 250,80 km2
dan wilayah lautan seluas 406,53 km2.
Berdasarkan data yang ada pada
Badan Kependudukan, Catatan Sipil dan Keluarga Berencana Kodya Tarakan per
September 2008, jumlah penduduk Kotdya Tarakan mencapai 178.111 jiwa yang
terdiri dari laki-laki sejumlah 93.154 jiwa dan perempuan sejumlah 84.957 jiwa.
Kodya Tarakan yang secara historis berpenduduk asli suku Tidung dalam perkembangannya
dihuni pula oleh suku-suku lain seperti Banjar, Jawa, Bugis, Tionghoa, Flores,
dan lain-lain.
B.
Perkembangan Bahasa
Melayu
Sebelum
kedatangan Belanda pada tahun 1896, Tarakan merupakan wilayah Kerajaan Tidung
yang memerintah Suku Tidung di utara Kalimantan Timur yang berkedudukan di
Pulau Tarakan dan berakhir di Salimbatu. Suku Tidung memiliki bahasa sendiri
yang disebut bahasa Tidung. Suku Tidung yang tinggal di pesisir pantai Tarakan
adalah pemeluk agama Islam sehingga suku Tidung lebih dikenal sebagai suku
Melayu seperti halnya suku Banjar, Kutai, dan suku Pasir. Hubungan dagang yang
menghasilkan hubungan perkawinan dengan para saudagar Islam dan
kerajaan-kerajaan Islam di wilayah sekitar Kalimantan
menjadikan suku Tidung di Tarakan menguasai bahasa Melayu sebagai bahasa
komunikasi. Hal ini menyebabkan sebagian besar suku Tidung di Tarakan menguasai
dua bahasa, yaitu bahasa Tidung dan Melayu. Dalam perkembangannya, Tarakan
sebagai kota transit karena fungsinya sebagai
pintu gerbang utama untuk memasuki wilayah Kalimantan Timur menjadi kota yang berpenduduk
heterogen. Banyak orang dari berbagai suku seperti Bugis, Banjar, Jawa, Toraja,
Flores dan lain-lain bermigrasi ke Tarakan.
Heterogenitas penduduk ini menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa yang lebih
sering digunakan sebagai bahasa komunikasi harian. Sekarang ini bahasa Melayu
dialek Tarakan atau juga disebut bahasa Indonesia dialek Tarakan menjadi bahasa
komunikasi yang dipakai oleh semua suku yang ada di Tarakan.
C.
Partikel ‘na’
Dalam tata bahasa, partikel merupakan
jenis kelas kata fungsi mengingat partikel hanya memiliki makna yang jelas
ketika berada dalam kalimat. Partikel memiliki makna yang kurang jelas ketika
berperan sebagai kata terpisah namun memiliki fungsi yang sangat penting dalam
sebuah kalimat ataupun frasa. Seperti telah dinyatakan di bagian sebelumnya,
jenis kata ini berbeda dengan jenis kata leksikal yang memiliki makna ketika
berperan sebagai kata terpisah seperti kata makan,
rumah, kecil, dan sejenisnya. Kridalaksana (2007: 19 – 21) menyatakan
bahwa partikel memiliki makna yang jelas dalam kalimat dan lebih berfungsi
untuk mengungkapkan sikap dan perasaan penutur. Ciri formal lain adalah bahwa
partikel tidak mengalami proses infleksi dan perubahan bentuk lain. Meski
kebanyakan partikel hanya memiliki makna gramatikal seperti lah, dong,
deh, kok, kan, nah,
lho dan sejenisnya, beberapa partikel
juga memiliki makna leksikal disamping makna gramatikal, misalnya karena, pada, agak, dan
sejenisnya. Contoh partikel dalam bahasa Indonesia ragam komunikasi misalnya
partikel ‘lah’ dalam kalimat (1) berikut ini:
(13)
‘Dicoba dulu lah.’ kata seorang penjaga toko sepatu
kepada teman saya. (LAH/TT1/1)
Kata lah
pada kalimat (1) mengungkapan mood
dari penutur yang lebih bermakna saran dan desakan untuk melakukan tindakan
seperti yang tersirat pada kata kerja dalam kalimat tersebut. Disamping konteks
gramatikal kalimat tersebut, penentu makna partikel lebih berupa konteks
pragmatik seperti tujuan dan maksud komunikasi penutur.
1.
Partikel ‘na’ dalam pola
kalimat bahasa Melayu dialek Tarakan.
Bahasa Melayu dialek Tarakan
memiliki dua partikel yang tipikal Tarakan, yaitu ‘na’ dan ‘ba’. Wilayah
sebaran penggunaan partikel na dan ba sedikit berbeda. Partikel na digunakan di hampir weluruh wilayah Kalimantan sedang partikel ba hanya digunakan di wilayah Kalimantan Timur bagian utara saja. Data-data
mengenai partikel ‘na’ dari bahasa Melayu dialek Tarakan dapat dilihat pada
contoh berikut.
(14) Ibu : ‘Perutmu makin buncit, Lin.’ (Seorang Ibu bernama Viny mengomentari perut
anaknya yang berumur + 10 tahun yang bernama Angelin)
Lin : ‘Mama ini na.’ (Angelin merespon komentar ibunya dengan sedikit sewot dan manja) (NA/TT2/2)
(15) Pegawai
Salon : ‘Silahkan. Siapa dulu ini? (Seorang pegawai salon memersilakan seorang
pelanggan dari ketiga perempuan yang datang bersamaan untuk dipotong rambutnya)
Perempuan 1 : ‘Yang paling tua dulu na.’ (Salah seorang perempuan berkata pada kedua temannya sambil tersenyum)
(NA/TT3/3)
(16) Pak Lucas : ‘Pak Felix tadi minta izin. (Beliau)
tidak bisa datang karena sakit. (Pak
Lucas menyampaikan pesan kepada Pak Francis, pimpinan rapat, pada acara
pertemuan lingkungan Karangrejo di Tarakan Barat)
Pak Fransis : ‘Na,
kan?’ (Pak Lucas dan peserta rapat yang lain
tertawa) (NA/TT4/4)
(17) Pak Silves : ‘Erni udah PNS sekarang.’ (Pak Silves bilang ke Nita temannya)
Nita : ‘Erni? Erni kita itu kah?’
(Nita merespon pak Silves sambil mencoba
mengingat-ingat) (NA/TT5/5)
Pak Silves : ‘Erni itu na, anak Juwata itu na.’
(Pak Silves mencoba menjelaskan)
Nita : ‘Iya kah? Hebat. Bakal
makan-makan kita.’ (NA/TT6/6)
(18) Ibu Laras : ‘Ayo na, Mas. Makan dulu’ (Ajak
Ibu Laras pada suaminya)
Suami : ‘Masak enak rupanya ya.’ (Jawab suaminya sambil tersenyum)
(NA/TT6/6)
(19) Seorang ibu :
’Geser dikit na’ (Seorang ibu berkata pada seorang pemuda
teman seperjalanan di ruang tunggu bandara Juwata Tarakan)
Seorang pemuda : ‘Ga
muat kah?’ (Sambil tertawa)
(NA/TT7/7)
Dari data (14 s.d. 19) dan dari
data tuturan harian dapatlah dinyatakan bahwa partikel ‘na’ dalam pola kalimat
bahasa Melayu dialek Tarakan memiliki tingkat kemunculan yang lebih tinggi
setelah kata tunjuk ‘ini’ dan ‘itu’ untuk mengakhiri sebuah klausa. Artinya
bahwa partikel ‘na’ selalu berterima jika muncul mengikuti kata tunjuk ‘ini’
dan ‘itu’. Pola penggunaan partikel ‘na’ pertama yang dapat dirumuskan adalah:
a.
Partikel ‘na’
setelah kata tunjuk ‘ini’ dan ‘itu’.

… … … ini na.
… … … itu na.
Keterangan: 1) Partikel ‘na’ lebih sering muncul diakhir
klausa untuk mengakhiri klausa,
2) Partiekel ‘na’ selalu berterima bila muncul
setelah kata tunjuk ‘ini’ dan ‘itu’,
3) Semua jenis kata dapat mendahului kata tunjuk
‘ini’ dan ‘itu’.
b.
Partikel ‘na’
setelah kata keterangan bermakna ajakan, permintaan, dan saran.

Ayo
na.
…
… … dulu na.
…
… … lagi na.
…
… … sedikit na.
…
… … sebentar na.
Keterangan: 1)
Partikel ‘na’ selalu berterima setelah kata ajakan ayo,
2) Partikel ‘na’ selalu berterima setelah kata
keterangan bermakna ajakan, permintaan, dan saran,
3) Jenis kata yang selalu berterima sebelum kata
keterangan ajakan adalah kata kerja, misalnya:
‘ambil
dulu na’, ‘ambil lagi na’, ‘ambil sedikit na’, ‘ambil sebentar na’,
‘makan dulu na’, ‘makan lagi na’, ‘makan sedikit na’, ‘makan sebentar na’,
‘berusaha dulu na’, ‘berusaha lagi na’,
berusaha sedikit na’, ‘berusaha sebentar na’,
sedang jenis kata benda dan kata sifat
memerlukan kesesuaian semantis untuk dapat muncul sebelum kata keterangan
ajakan di atas. Kata benda hanya muncul dalam bentuk pronomina persona atau
kata ganti orang dan itupun hanya untuk kata keterangan ajakan dulu dan lagi, misalnya:
‘Bapak dulu
na, ‘Bapak lagi na’,
‘Kamu dulu
na’, ‘Kamu lagi na’.
Kata sifat hanya muncul sebelum kata
keterangan sedikit dan bermakna
“menjadi agak” atau “menjadi lebih”, misalnya:
‘tenang sedikit
na’,
‘kecil sedikit
na’.
Kata lain yang bisa muncul adalah kata
keterangan yang menerangkan cara mengerjakan sesuatu, misalnya:
‘cepat sedikit
na’,
‘sabar sedikit
na’.
c. Partikel ‘na’ diawal klausa

Na, kan?
Keterangan: 1) Partikel ‘na’ muncul diawal klausa hanya
pada konstruksi penegasan saja, yaitu konstruksi klausa dalam sebuah wacana
komunikasi sebagai tanggapan atas sebuah pernyataan,
2) Makna konstruksi ini juga bermakna ungkapan
penegasan dan sekaligus ajakan untuk menyetujui atau mengakui sebuah pendapat
atau sebuah pernyataan sebelumnya.
2.
Makna partikel ‘na’
dalam tata bahasa Melayu dialek Tarakan
Sebagaimana partikel
pada umumnya, partikel ‘na’ bahasa Melayu dialek Tarakan lebih bermakna sebagai
pembentuk keselarasan bunyi yang secara komunikatif memberi efek kedekatan atau
intimacy antar penuturnya. Hal ini
didasarkan pada kajian data (14 – 19) di atas. Dari data di atas dapat dilihat
bahwa partikel ‘na’ hanya muncul dalam komunikasi antar penutur yang memiliki
kedekatan relasi dan dalam komunikasi tidak formal. Makna partikel ‘na’ dalam
tuturan dengan demikian sangatlah bergantung pada konteks baik semantik, yaitu
berupa kata-kata sebelum dan sesudah partikel na maupun pragmatik konteks, yaitu berupa konteks diluar bahasa
misalnya relasi antar penutur, dan maksud tuturan.
Makna partikel na pada tuturan Lin seperti terlihat
pada data (14): ‘Mama ini na.’
sebagai tanggapan tuturan ibunya: ‘Perutmu makin buncit, Lin.’ sangat
bergantung pada konteks non-linguistik tuturan. Pemaknaan partikel na pada data (14) gagal bila hanya
bergantung pada konteks semantis berupa kata-kata sebelum partikel na dalam tuturan tersebut. Pemaknaan
partikel na berhasil bila konteks
pragmatik berupa maksud tuturan baik dari Ibu
maupun dari Lin, dan relasi antar
petuturnya juga dipertimbangkan. Dengan memerhatikan konteks semantik maupun
pragmatik dapatlah dijelaskan bahwa makna partikel ‘na’ pada data (14): ‘Mama ini na.’
merupakan permintaan Lin kepada ibunya untuk tidak mengolok-olok kegendutannya,
ungkapan kemaharan meskipun tidak sngguh-sungguh marah karena Lin menyadari
bahwa Ibunya tidak benar-benar mencelanya, dan merupakan ungkapan kedekatan Lin
terhadap ibunya karena baik Lin maupun Ibunya tidak akan melakukan peristiwa
tuturan semacam itu pada orang lain yang tidak memiliki kedekatan yang
sama.
Partikel na pada data (15)
memiliki makna permintaan. Dari kajian
konteks baik semantik maupun pragmatik, tuturan Perempuan 1: ‘Yang paling tua
dulu na.’ ditujukan pada kedua
temannya yang hendak mendapatkan pelayanan salon menunjukkan bahwa penutur
bermaksud meminta temannya yang paling tua untuk mendapatkan giliran lebih
dahulu sekaligus bermaksud menunjukkan kedekatan relasi antar ketiga teman
tersebut sehingga dengan memasukkan unsur canda berupa kriteria umur sebagai
penentu giliran layanan formalitas tuturan menjadi berkurang. Partikel na pada tuturan ini bermakna permintaan, tepatnya permintaan penutur
kepada temannya untuk mendapatkan giliran layanan salon sebagai jawaban atas
pertanyaan Pegawai Salon: ‘Silakan. Siapa dulu ini?’.
Partikel na pada data (16) memiliki makna penegasan. Hal ini dapat dikaji dari
konteks semantik maupun pragmatiknya. Tuturan Pak Fransis: ‘Na, kan?’ sebagai respon
dari pernyataan Pak Lucas dan respon hadirin (tertawa) dimaknai sebagai penegasan atas dugaan pak Fransis bahwa
Pak Felix tidak akan datang ke pertemuan tersebut dengan berbagai alasan
(meskipun tidak diucapkan).
Partikel na pada (17) memiliki makna permintaan. Tuturan Pak Silves: ‘Erni
itu na, anak Juwata itu na.’ sebagai jawaban pertanyaan Nita: ‘Erni?
Erni kita itu kah?’ lebih merupakan permintaan
pak Silves kepada Nita untuk mengingat-ingat (lagi) objek pembicaraan mereka.
Partikel na pada (18) memiliki makna ajakan. Partikel na yang dimunculkan mengikuti kata ‘Ayo’ menjadi ajakan yang
biasa pada tuturan sehari-hari di dalam masyarakat Tarakan. Makna ajakan bukan hanya dari makna leksikal
kata ayo karena tuturan ayo dalam masyarakat Tarakan selalu
muncul diikuti partikel na.
Partikel na pada data (19) memiliki makna permintaan. Tuturan Seorang Ibu: ‘Geser
dikit na.’ pada seorang pemuda teman
seperjalanannya lebih merupakan sebuah permintaan
seorang teman untuk bergeser sedikit guna memberi ruang untuk duduk.
Data
(14 - 19) menunjukkan bahwa secara umum selain menunjukkan kedekatan relasi
antar petutur dan menjaga keselarasan tuturan, partikel ‘na’ memiliki makna ajakan (6), permintaan (14, 15, 17, dan 19), dan penegasan (16).
3.
Konteks Pragmatik
Penggunaan partikel ‘na’.
Konteks pragmatik sebagaimana telah dirumuskan
dimuka adalah setiap unsur tuturan diluar bahasa yang menentukan maksud tuturan
seperti misalnya penutur, nosi, intonasi, relasi antar petutur. Berikut ini
disajikan data konteks pragmatik yang berkaitan dengan penggunaan partikel na pada tuturan masyarakat Tarakan.
Tabel
1. Konteks Pragmatik Partikel na dan ba berupa Usia, Kelas Sosial dan
Wilayah.
|
Usia
|
Kelas Sosial
|
Wilayah
|
|||||
Anak-anak
|
Dewasa
|
Orang tua
|
||||||
Noble
|
Common
|
Rural
|
Urban
|
|||||
Partikel na
|
P
|
P
|
P
|
P
|
P
|
P
|
P
|
|
Partikel ba
|
P
|
P
|
P
|
P
|
P
|
P
|
P
|
Data
tabel 1 menunjukkan bahwa partikel na muncul
dalam tuturan sehari-hari baik oleh anak-anak, dewasa, orangtua, baik oleh
kelas bangsawan maupun orang biasa, baik di desa maupun di kota. Dapat pula disampaikan bahwa konteks
usia, kela sosial dan wilayah tidak membatasi penggunaan partikel na bahasa Melayu Dialek tarakan
Kalimatan Timur.

Gambar
1. Peta Wilayah Penggunaan partikel ba
dan na dalam tututran bahasa Melayu
Dialek Tarakan Kalimantan Timur.
Tabel
2. Konteks Pragmatik Partikel na dan ba berupa Situasi.
|
Situasi
|
||||
Resmi
|
Tidak Resmi
|
Sakral
|
Puitik
|
Spontan
|
|
Partikel na
|
X
|
P
|
X
|
P
|
P
|
Partikel ba
|
X
|
P
|
X
|
P
|
P
|
Data Tabel 2 menunjukkan bahwa
partikel na muncul dalam tuturan
sehari-hari pada situasi tidak resmi, puitik, dan spontan, sedangkan pada situasi
resmi dan sakral partikel na tidak
muncul. Dapat pula disampaikan bahwa situasi sakral seperti doa memiliki
tingkat formalitas yang tinggi sehingga penutur cenderung tidak menggunakan
partikel na mengingat situasinya
selalu resmi.
Tabel 3. Konteks Pragmatik Partikel
na dan ba berupa Nosi.
|
Nosi
|
||||
Pertokoan
|
Pasar
|
Perkantoran
|
Sekolahan
|
Rumah
|
|
Partikel na
|
P
|
P
|
P
|
P
|
P
|
Partikel ba
|
P
|
P
|
P
|
P
|
P
|
Data Tabel 3 menunjukkan bahwa partikel na muncul pada konteks nosi apapun
seperti pada nosi pertokoan, pasar, perkantoran, sekolahan, dan rumah. Perlu
disampaikan bahwa untuk nosi perkantoran dan sekolahan, tuturan yang dirujuk
bukanlah berupa sambutan atau pengajaran guru melainkan tuturan waktu senggang
antar petutur di lingkungan perkantoran dan sekolahan.
Dari kajian data
konteks pragmatik Tabel 1 – 3 di atas dapatlah disampaikan bahwa konstrain
penggunaan partikel na pada tuturan
bahasa Melayu Dialek Tarakan Kalimantan Timur adalah formalitas tuturan.
Partikel na digunakan pada konteks
pragmatik apa saja kecuali pada konteks situasi resmi atau formal.
D.
Partikel ‘ba’
Seperti telah dikemukakan
sebelumnya, partikel ba dalam tuturan
bahasa Melayu Dialek Tarakan Kalimantan Timur merupakan partikel yang tipikal
Tarakan. Seperti halnya partikel na,
partikel ba adalah partikel yang
senantiasa muncul dalam tuturan sehari-hari masyarakat Tarakan Kalimtan Timur.
Sebagaimana partikel na dan juga
partikel lain, partikel ba mimiliki
ciri-ciri partikel pada umumnya yaitu bahwa partikel ini merupakan jenis kelas
kata fungsi mengingat partikel ba hanya
memiliki makna yang jelas ketika berada dalam kalimat. Seperti telah dinyatakan
di bagian sebelumnya, partikel ba memiliki
makna yang jelas dalam kalimat dan lebih berfungsi untuk mengungkapkan sikap
dan perasaan penutur. Ciri formal lain adalah bahwa partikel ba tidak mengalami proses infleksi dan
perubahan bentuk lain. Disamping konteks gramatikal kalimat, penentu makna
partikel ba lebih berupa konteks
pragmatik seperti tujuan dan maksud komunikasi penutur.
1.
Partikel ‘ba’ dalam
pola kalimat bahasa Melayu dialek Tarakan.
Berdasarkan sebaran geografis
kemunculannya, partikel ba dapat
dikatakan partikel tipikal bahasa Melayu Dialek Tarakan mengingat partikel ba hanya muncul di wilayah Kota Madya
Tarakan dan sekitarnya seperti wilayah sepanjang Sungai Sesayap di utara
sekitar Pulau Sapi, Malinau, dan sepanjang Sungai Sembakung sekitar Mansalong,
sepanjang Sungai Kayan di tengah sekitar Tanjung Selor, Tidung Pale, dan
sepanjang Sungai Segah di selatan sekitar wilayah Tanjung Redep, serta Atap dan
Pasir Belengkong. Sebaran penggunaan partikel ba di wilayah utara paling jauh di Nunukan dan di wilayah selatan
paling jauh di Tanjung Redep.

www.indonesia-tourism.com
Data-data mengenai partikel ‘ba’ dari bahasa Melayu
dialek Tarakan dapat dilihat pada contoh berikut.
(20) Agnes : ‘Nanti malam mau pergi kah?’
P. Stef : ‘Kemana?’
Agnes : ‘Ke tempat orang menikah.’
P. Stef : ‘Enggak.’
Agnes : ‘Kenapa, Bah?’
P. Stef :’Yang diundang kan Pastor Bono bukan aku.’ (BA/TT1/1)
(21) Joy :
‘Aku minum air rebusan usus landak. Sembuh, malariaku.’
Ingai :
‘Enak kah?’
Joy :
‘Oi, pahit, Bah.’ (BA/TT2/2)
(22)
Awang : ‘Jadi pergi kah?’
Jaung :
‘Iya lah. Masih nanti kan?’
Awang :
‘Sekarang, Bah’
Jaung :
‘Sekarang ya.’ (BA/TT3/3)
(23)
Rio :
‘Eh, cepet betul? Naik Taxi kah?’
Edo : ‘Taxi apa. Lari, Bah aku. (BA/TT4/4)
(24)
Irang : ‘Vario bagus kah?’
Yajuk :
‘Laju. Laju, Bah.
Irang :
‘Cuma boros ya?’
Yajuk :
‘Ndak boros, Bah. Satu empatpuluh
lah.’ (BA/TT5/5)
(25)
Jaung : ‘Baru kah?’
Kuling :
‘He he. Tiga juta dua ratus di Surabaya.’
Jaung :
‘Mahalnya Bah.’ (BA/TT6/6)
(26)
Valent : ‘Orang itu cantik
tapi cerewet betul ya?’
Yumbo :
‘Itu mamakku, Bah.’ (BA/TT7/7)
Data
(20 – 25) menunjukkan bahwa partikel ba
tidak memiliki konstrain berupa jenis kata. Partikel ba bisa muncul dan berterima setelah jenis kata apapun. Partikel ba berterima manakala muncul setelah
pronomina kata tanya (20), kata sifat (21, 24, 25 ), kata keterangan (22),
verba (23), dan kata benda (27). Berikut ini tabel konteks sintagmatik
kemunculan partikel ba.
Tabel
4. Konteks sintagmatik berupa jenis kata untuk penggunaan partikel ba.
|
Jenis Kata
|
||||
Sifat
|
Benda
|
Verba
|
Adverbia
|
Pronomina
|
|
Partikel ba
|
P
|
P
|
P
|
P
|
P
|
Partikel
ba dalam tuturan bahasa Melayu dialek
Tarakan juga berterima manakala digunakan dalam jenis klausa apapun. Partikel ba bisa muncul dalam klausa afirmatif
(21 – 26), pertanyaan (20), dan negatif (24).
Tabel
5. Konteks sintagmatik berupa jenis Klausa untuk penggunaan partikel ba.
|
Jenis Klausa
|
||
Afirmatif
|
Tanya
|
Negatif
|
|
Partikel ba
|
P
|
P
|
P
|
2.
Makna partikel ‘ba’
dalam tata bahasa Melayu dialek Tarakan
Sebagaimana partikel na, partikel ‘ba’ bahasa Melayu dialek
Tarakan lebih bermakna sebagai pembentuk keselarasan bunyi yang secara
komunikatif memberi efek kedekatan atau intimacy
antar penuturnya. Hal ini didasarkan pada kajian data (20 – 27) di atas. Dari
data di atas dapat dilihat bahwa partikel ‘ba’ hanya muncul dalam komunikasi
tidak formal. Makna partikel ‘ba’ dalam tuturan (20 – 27) sebagai ganti sebutan
orang kedua. Setelah dikaji, partikel ba
dalam tuturan di atas tidak memiliki makna khusus kecuali sebagai kata ganti
orang atau pronomina persona yang merujuk pada mitra tutur. Secara pragmatis
partikel ba merubah kedekatan relasi
antar petutur dari tidak akrab menjadi akrab. Penutur bahasa Melayu Dialek
Tarakan menggunakan partikel ba dalam
tuturan untuk menjadikan relasi antar petutur lebih dekat dan akrab.
Makna
partikel ba pada tuturan (20 – 27) secara
etimologis lebih dekat dengan kata babah
dalam bahasa Melayu Dialek Betawi yang merupakan kata sebutan untuk menyebut
seorang laki-laki Cina dewasa (Tadmor, 1997). Bila partikel ba dimaknai sebagai sebutan untuk
merujuk seorang laki-laki Cina dewasa maka partikel ba merupakan kata serapan yang telah mengalami pergeseran makna,
yaitu dari sebutan untuk seorang laki-laki Cina dewasa menjadi sebutan untuk
semua orang baik laki-laki, maupun perempuan, kanak-kanak maupun dewasa yang
menjadi mitra tutur. Namun demikian, hal ini masih bersifat dugaan dan memerlukan
kajian etimologis lebih lanjut.
3.
Konteks Pragmatik
Penggunaan Partikel ‘ba’ dalam bahasa Melayu Dialek Tarakan.
Konteks pragmatik partikel ba sebagaimana telah dirumuskan dalam
Tabel 1 - 3 mendiskripsikan unsur tuturan diluar bahasa yang menentukan maksud
tuturan berkaitan dengan penutur, nosi, situasi, dan setting. Berikut ini
disajikan data konteks pragmatik yang berkaitan dengan penggunaan partikel ba pada tuturan masyarakat Tarakan
berupa tindak tutur ilokusi.
Tabel
6. Konteks Pragmatik Partikel na dan ba berupa Tindak Tutur Ilokusi.
|
Tindak Tutur
Ilokusi
|
||||
Asertif
|
Direktif
|
Komisif
|
Ekspresif
|
Deklaratif
|
|
Partikel na
|
P
|
P
|
P
|
P
|
P
|
Partikel ba
|
P
|
P
|
P
|
P
|
P
|
Partikel ba
berterima manakala digunakan dalam tindak tutur ilokusi apapun, asertif (27),
direktif (20), komisif (24), ekspresif (21, 24) dan deklaratif (22).
Dari kajian konteks pragmatik
penggunaan partikel ba pada Tabel 1 –
3 dan Tabel 4 di atas dapatlah dinyatakan bahwa konstrain pragmatik penggunaan
partikel ba sebagaimana partikel na dalam bahasa Melayu Dialek Tarakan
Kalimantan Timur adalah pada formalitas tuturan dan kedekatan relasi antar
petutur. Artinya, partikel ba
digunakan dalam tuturan bahasa Melayu dialek Tarakan dalam konteks pragmatik
apapun kecuali pada tuturan dalam konteks formal seperti ceramah, pidato,
pengajaran di depan kelas dan tuturan-tuturan formal lain.
BAB
VI
KESIMPULAN
DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Dari uraian pada bab-bab sebelumnya
dapat diketahui bahwa penutur bahasa Melayu dialek Tarakan Kalimantan Timur
memiliki pertikel yang tipikal yaitu partikel ba dan na. Meski partikel
na memiliki sebaran wilayah
penggunaan yang lebih luas di hampir seluruh wilayah Kalaimantan, penggunaan
partikel na di Tarakan Kalimantan
Timur memiliki frekuensi yang tinggi. Sedikit berbeda dengan partikel na, partikel ba dalam bahasa Melayu Dialek Tarakan lebih memiliki wilayah
sebaran penggunaan yang spesifik yaitu di seluruh wilayah Kota Madya Tarakan
dan sekitarnya meliputi wilayah Nunukan di utara, sepanjang sungai Kayan di
Barat-Tengah Kalimantan dan Tanjung Redep di Selatan. Di luar wilayah tersebut
meski berdekatan, misalnya di wilayah Balikpapan
dan Samarinda, partikel ba tidak lagi
digunakan. Hal ini menandakan bahwa partikel ba tipikal partikel bahasa Melayu Dialek Tarakan. Beberapa simpulan
lain yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:
1.
Konteks pragmatik
penggunaan partikel ba dan na memiliki konstrain formalitas dan
kedekatan atau intimacy. Partikel ba dan na hanya muncul manakala tuturan memiliki tingkat formalitas yang
rendah atau dengan kata lain partikel ba
dan na hanya digunakan dalam tuturan
tidak resmi atau tidak formal, dan penggunaan pertikel ba dan na hanya dilakukan
oleh petutur yang memiliki kedekatan relasi.
2.
Pola penggunaan
partikel ba dan na secara umum menunjukkan bahwa partikel ba dan na sebagaimana
partikel pada umumnya menjadi penyelaras bunyi yang karenanya lebih banyak
muncul di akhir klausa.
3.
Partikel ba memiliki konstrain kemunculan dalam
pola kalimat bahasa Melayu Dialek tarakan yang berbeda dengan partikel na. Partikel ba memiliki peluang penggunaan dalam pola kalimat atau konteks
sintagmatik yang lebih luas dibandingkan dengan partikel na.
4.
Partikel na memiliki konstrain kemunculan yang
lebih selektif yaitu bahwa partikel na
berterima manakala muncul setelah kata tunjuk ini dan itu, setelah kata
keterangan bermakna permintaan, permohonan, ajakan, dan penegasan.
Partikel na hanya muncul pada awal
klausa untuk klausa penegasan dalam bentuk pola baku:
Na, kan.
5.
Penutur bahasa Melayu
Dialek Tarakan Kalimantan Timur merasa bahwa penggunaan partikel ba dan na menandakan kedekatan relasi antar petutur. Dengan mengngunakan
partikel ba dan na, penutur bahasa Melayu Dialek Tarakan Kalimantan Timur merasakan
keselarasan atau kenyamanan berbahasa karena ketepatan penggunaan partikel ba dan na membuat mereka merasa memiliki jatidiri warga wilayah Tarakan.
Meski mereka tidak mampu menjelaskan kapan dan dalam konteks seperti apa
penggunaan partikel ba dan na dalam bahasa Melayu Dialek Tarakan,
mereka bisa merasakan keselarasan penggunaan partikel ba dan na, dan tahu
persis kapan dan bagaimana harus menggunakan partikel ba dan na.
B.
Saran
Setelah
melakukan kajian tentang konteks pragmatik penggunaan partikel ba dan na di bab-bab terdahulu perlu disampaikan beberapa saran yang dapat
dijadikan pelajaran baik untuk penutur bahasa Melayu Dialek Tarakan sebagai
pengguna partikel ba dan na dalam tuturan sehari-hari maupun
untuk peneliti dan pemerhati kajian linguistik.
1.
Partikel ba dan na dalam tuturan bahasa Melayu Dialek Tarakan Kalimantan Timur
merupakan kekayaan bahasa yang tipikal. Untuk itu hendaknya masayarakat penutur
bahasa Melayu Dialek Tarakan sebagai pengguna partikel ba dan na merasa bangga
karena memiliki ciri kebahasaan sebagai jatidiri warga Tarakan sehingga
kebanggaan menggunakan partikel ba
dan na akan melestarikan kekayaan bahasa
Melayu Dialek Tarakan Kalimantan Timur.
2.
Meski nampak sederhana,
penggunaan partikel ba dan na memberi dampak yang sangat positif
terhadap penutur bahasa Melayu Dialek Tarakan Kalimantan Timur. Hal ini
mengingat penggunaan partikel ba dan na meningkatkan kedekatan relasi antar
petuturnya, sehingga penggunaan partikel ba
dan na dalam tuturan bahasa Melayu
Dialek Tarakan perlu mendapatkan perhatian berkaitan dengan keselarasan dan
ketepatan penggunaan partikel ba dan na. Diharapkan, kajian tentang partikel ba dan na ini membuka wawasan yang lebih luas bagi para pemerhati dan
peneliti bahasa sehingga lebih memberi wawasan yang lebih luas berkaitan dengan
unsur-unsur bahasa yang dapat dijadikan entry
point penelitian dan kajian bahasa.
3.
Dari penelitian yang
dilakukan di lapangan diperoleh data tentang kekayaan bahasa yang melimpah di Wilayah
Tarakan Kalimantan Timur. Hendaknya Pemerintan Pusat maupun Daerah perlu
memberikan perhatian yang lebih besar guna mempercepat dokumentasi kekayaan
bahasa yang ada. Hal ini perlu dilakukan mengingat kekayaan bahasa melekat pada
penuturnya sehingga apabila tidak ada lagi penutur bahasa yang menggunakan
bahasa yang dimiliki maka dengan sendirinya bahasa yang pernah menjadi kekayaan
suatu daerah akan punah kecuali apabila sebelumnya telah dilakukan dokumentasi
kekayaan bahasa yang dimiliki.
DAFTAR
PUSTAKA ACUAN
Bell,
Roger, T., 1976, Sociolinguistics: Goals, Approaches and Problems, B. T.
Batsford, Ltd., London.
Carnap,
R, (1942), Introduction to Semantics, Cambridge, Mass, : MIT Press.
Chomsky,
N., (1957, Syntactic Structures, The Hague: Mounton.
Durdje
Durasid, dkk. (1990), Struktur Bahasa Kahayan, Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Firth,
J. R., 1957, Men and Culture: An Evaluation of the Work of Bronislaw
Malinowsky, London, England: Routledge and Kega Paul.
Gazdar,
G. 1979, Pragmatics: Implicatures, Presupposition and Logical Form, New York, Academic
Press.
Halliday,
M. A. K., 1978, Language as Social Semiotic, London: Edward Arnold.
Hewings
Ann, & Hewings, Martin, 2005, Discourse Analyses, Routledge 2 Park Square, Oxon,
USA.
Katz, J. J.,
(1964), ‘Analyticality and contradiction in natural language’, in Fodor, J. A.
and Katz, J. J. (eds), The Structure of Language: Readings in the Philosophy
of Language, Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, pp 519-43.
Katz, J. J. and
Fodor, J. A., (1963), ‘The Structure of Semantic Theory’, in Language,
39, 1970-210.
Katz, J. J. and
Postal, P. M., (1964), An Integrated Theory of Languistic Descriptions, Cambridge, Mass.:
MIT Press.
Lakoff, G.
(1971), ‘On generative semantics’ in Steinberg, D.
D., and Jakobovits, L. A. (eds)
(1971), Semantics: An Interdisciplinary Reader in Philosophy, Linguistics
and Psychology, Cambridge: Cambridge University Press.
Leech, Geoffrey,
(1983), Principles of Pragmatics, Longman Group Ltd.
Levinson,
Stephen, (1983), Pragmatics, Cambridge
University Press.
Malinowski,
B., 1923, The Problems of Meaning in Primitive Languages, Suplement to
Odgen & Richards, 4th ed, 1966.
Morris, C. W.,
(1938), Foundation of the theory of signs, Chicago: Chicago University Press.
Morris, C. W.,
(1946), Sign, Language, and Behavior, Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
O’Grady,
W., (1996), Contemporary Linguistics, Copp Clark Pitman Ltd., Longman.
Radjaban,
Yohanes (2008), Pragmatic Contexts:
Malinowski’s Contextual Meaning and Pragmatic Meaning, in ‘Phenomena’,
Journal of Language and Literature, Department of English Letters Faculty of
Letters Sanata Dharma University Yogyakarta Vol. 11 – No. 3.
Ross,
J. R., (1970), ‘On declarative sentences’, in Jacobs, R. A. and Rosenbaum, P.
S. (eds), Readings in English Transformational Grammar, Waltman, Mass:
Blaisdell, pp 222-72.
Schiffrin,
Deborah, 1994, Approaches to Discourse, Blackwell Publishers Inc., Malden, Massachusetts,
USA.
Searle,
J. R., (1969), Speech Acts: An Essay
in the Philosophy of Language, Cambridge: Cambridge University Press.
Sudaryanto, (1990), Aneka Konsep
Kedatan Lingual, Duta Wacana Unversity Press.
Sudaryanto, (1992), Metode
Linguistik, Duta Wacana Unversity Press.
Sutopo, H. B. (2006), Metodologi
Penelitian Kualitatif, Universitas Sebelas Maret, ed. 2.
Tadmor, Uri (1997), Local Lexical Elementas in Jakarta Indonesia,
Max planck Institute for Evolutionary Anthropology.
Verhaar, J. W. M. (1996), Asas-asas
Linguistik Umum, Gadjah mada University Press, Yogyakarta
http://lingweb.eva.mpg.de/jakarta/isloj/ppt/Uri_Tadmor.ppt
Tidak ada komentar:
Posting Komentar