Senin, 19 Oktober 2015

General Linguiistics Assignment PBI 19 October 2015

General Linguistics Assigment Okt 19th, PBI sem 3

Read the examples below:
1.a. Tom drove Iwan's car to Budi's office yesterday.
1.b. Budi drove Tom's car to Iwan's office yeaterday.
1.c. Iwan drove Budi's car to Tom's office yesterday.
2.a. *Tom Iwan's drove office Budi's car yesterday.
2.b. *Budi office Tom's yesterday car Iwan's drove.

3.a. Nero interfecit Agrippinam.
        (Nero killed Agrippina)
3.b. Agrippinam interfrcit Nero.
        (Nero killed Agrippina)
3.c. Agrippinam Nero intergecit.
        (Nero killed Agrippina)
Questions:
1. Do you know the meanings of all words in 1?
2. Do sentences in 1 have the same number and members of words?
3. Do they have the same or different meanings?
4. What make them have sifferent meanings?
5. Why are sentences no 2 meaningless?
6. Compare sentences no 1, 2 and 3.
7. Discuss with your friends, consults references you have and send the results to my email.

Best regards,

J. Radjaban

Kamis, 15 Oktober 2015

Semantics Assignments dated Friday 16th, 2015

Read the following sentences, discuss, and then, answer the questions.

You often hear people say:
1. a. People keep their money in a bank.
    b. No. People shepherd their cows in a bank.

2. a. You need to have a bat to play table tennis.
    b. How can you play with a bat. It flies to catch smaller insects.

3. a. My friend used a pen to write.
    b. My neighbour carry his pet in a pen.

4. a. It's nice to have a bright sky after a long gloomy day.
    b. This kid is really bright. He always passed with flying colours.

5. a. That mouse is really dangerous for farming. It eats all ripe crops.
    b. Move that mouse and click the menu. It's done.

Questions:

1. Which one is homophony and which one is polysemy?
2. Discuss with your friends about this.
3. FInd references to support your discussion.
4. Write the answer for these questions: a. What is homophony and b. what is polysemy.

Good Luck

Senin, 12 Oktober 2015

Schools of Linguistics Assignment 15 Okt 2015

Read the following texts and make a summary about some differences between Traditional and Modern Linguistics.

ASSIGNMENT OF RESEARCH METHODOLOGY SEM 7 OF ENGLISH LITERATURE FIB 14 Oktober 2015

REad the following paper and try to write a proposal based on some principles you find from the paper below.



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Indonesia adalah bangsa yang memiliki bahasa lokal yang sangat kaya. Bahasa-bahasa yang ada di Indonesia merupakan varian bahasa Melayu yang serumpun dengan bahasa-bahasa lokal di kawasan regional seperti Singapura, Malaysia, Brunei, Filipina (Verhaar, 1996: 4). Kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan sangat mempengaruhi jumlah varian bahasa Melayu yang menjadi bahasa lokal. Hal ini terjadi karena hambatan geografis menjadikan kontak antar penutur bahasa yang rendah sehingga masing-masing komunitas memiliki perkembangan bahasa yang beragam sesuai dengan perkembangan peradaban masing-masing komunitas. Derajad perkembangan peradaban yang berbeda menjadikan kesenjangan perkembangan yang berbeda pula sehingga bahasa satu komunitas sangat mungkin jauh berbeda dengan bahasa komunitas yang lain meskipun masih tergolong dalam rumpun yang sama. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya bahasa-bahasa lokal di wilayah Indonesia seperti di Sulawesi, Kalimantan, dan Papua yang terlihat sebagai bahasa yang sama sekali berbeda.
Jika diasumsikan masing-masing pulau memiliki satu saja bahasa lokal maka paling tidak Indonesia memiliki 13.000 bahasa lokal. Ini menunjukkan jumlah kekayaan bahasa yang sangat kaya. Memiliki kekayaan bahasa serta merta juga minimal memiliki kekayaan budaya karena dalam bahasa dan melalui bahasa pemilik bahasa mengaktualisasikan nilai-nilai, filosofi dan wujud kebudayaan lainnya. Dari analogi ini saja sudah cukup menjadi alasan bagi bangsa Indonesia untuk berusaha keras melestarikan kekayaan bahasa yang dimiliki. Paling tidak upaya pelestarian tersebut pertama-tama dilakukan dengan mendokumentasikan bahasa-bahasa tersebut dalam bentuk deskripsi linguistiknya. Namun sangat disayangkan bahwa sangat banyak bahasa-bahasa lokal yang sama sekali belum ada dokumentasi tertulisnya sehingga banyak pula bahasa-bahasa lokal yang hilang begitu saja seiring dengan menghilangnya penutur lisan bahasa-bahasa tersebut.
Linguis dan para pemerhati bahasa serta masyarakat yang menggeluti bidang kajian bahasa menjadi pihak yang pertama-tama terusik untuk melakukan sesuatu guna melestarikan bahasa-bahasa yang ada. Penulis sebagai orang yang menggeluti bidang kajian bahasa terdorong untuk melakukan pengkajian tentang salah satu varian bahasa yang ada di daerah Tarakan Kalimantan Timur. Karena kontak yang cukup intensif dengan penutur bahasa Melayu dialek Tarakan, penulis menemukan fenomena bahasa yang menarik, yaitu penggunaan partikel ‘ba’ dan ‘na’ oleh penutur bahasa lokal. Fenomena kebahasaan ini menarik karena tidak semua dan tidak dalam setiap kesempatan berkomunikasi penutur bahasa lokal menggunakan partikel ‘ba’ dan ‘na’. Fenomena kebahasaan inilah yang mendorong penulis untuk mengetahui lebih jauh hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan partikel ‘ba’ dan ‘na’.
B.       Rumusan Masalah
Kajian seputar penggunaan partikel ‘ba’ dan ‘na’ dapat dilakukan dari berbagai pendekatan linguistik, misalnya dari perspektif fonologi, morfologi, sintaksis, pragmatik, ataupun sosiolinguistik. Namun, mengingat kajian komprehensif mengenai fenomena penggunaan partikel ‘ba’ dan ‘na’ dengan melibatkan semua pendekatan tidaklah memungkinkan maka penulis memilih salah satu saja pendekatan linguistik untuk mengkaji fenomena kebahasaan tersebut, yaitu perspektif pragmatik. Tanpa mengecilkan peran pendekatan linguistik lain, kajian pragmatik dirasa dapat memberikan gambaran riil tentang fenomena kebahasaan tentang penggunaan partikel ‘ba’ dan ‘na’ pada bahasa Melayu dialek Tarakan Kalimantan Timur.
Secara lebih nyata permasalahan yang ingin penulis kaji lebih mendalam dalam penelitian ini adalah:
1.      Konteks pragmatik apa saja yang mempengaruhi kemunculan partikel ‘ba’ dan ‘na’ dalam bahasa Melayu dialek Tarakan Kalimatan Timur?
2.      Bagaimana pola penggunaan partikel ‘ba’ dan ‘na’ dalam struktur kalimat bahasa Melayu dialek Tarakan Kalimantan Timur?
3.      Apa manfaat penggunaan partikel ‘ba’ dan ‘na’ bagi penutur bahasa Melayu dialek Tarakan Kalimantan Timur?
Ketiga pertanyaan tersebut di atas menjadi permasalahan inti untuk mengantarkan penulis melakukan penelitian secara holistik. Pertanyaan pertama merupakan faktor genetik, pertanyaan kedua faktor objektif, dan ketiga faktor afektif yang ingin diteliti secara mendalam.
C.       Tujuan Penelitian
Seperti telah diungkapkan pada bagian sebelumnya, penelitian ini terutama ingin memberikan sumbangan terhadap pelestarian bahasa-bahasa lokal yang menjadi kekayaan bangsa Indonesia. Namun secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
1.      mendeskripsikan konteks pragmatik yang mempengaruhi kemunculan partikel ‘ba’ dan ‘na’ dalam bahasa Melayu dialek Tarakan Kalimantan Timur,
2.      mendeskripsikan pola penggunaan partikel ‘ba’ dan ‘na’ dalam struktur kalimat bahasa Melayu dialek Tarakan Kalimantan Timur,
3.      mendeskripsikan manfaat penggunaan partikel ‘ba’ dan ‘na’ dalam bahasa Melayu dialek Tarakan Kalimantan Timur.
D.      Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini nantinya secara nasional akan sangat bermanfaat terutama dalam rangka pelestarian kekayaan bahasa yang dimiliki. Masyarakat lokal dan pemerintah daerah Tarakan Kalimantan Timur secara pragmatik mendapatkan dokumentasi tertulis yang tentunya bermanfaat untuk perkembangan kultural masyarakat lokal. Melalui hasil penelitian ini masyarakat lokal dapat semakin mencintai kekayaan budaya lokal dan kebijaksanaan setempat berkaitan dengan bahasa mereka dan semakin memotivasi diri untuk melestarikan kekayan bahasa dan budaya yang dimiliki. Bagi penulis sendiri, hasil penelitian ini akan memberi insprirasi untuk semakin setia menggeluti bidang kajian linguistik dan untuk melakukan tindakan nyata dalam rangka melestarikan kekayaan bahasa dan budaya bangsanya. Secara teoretis hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan teoretis guna mengembangkan kekayaan ilmu linguistik secara umum.









BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.      Kajian Teori
Penelitian ini melibatkan beberapa hal pokok yang erat kaitannya dengan masing-masing pokok masalah yang diketengahkan dalam penelitian, yaitu partikel ‘ba’ dan ‘na’, bahasa Melayu dialek Tarkan Kalimantan Timur dan konteks pragmatik. Dalam bab ini akan dibahas terlebih dahulu peta teori dari masing-masing hal tersebut.
1.      Partikel ‘ba’ dan ‘na’
Dalam kajian linguistik, partikel merupakan kata yang merujuk pada unsur-unsur gramatikal minor dalam sebuah bahasa (Verhaar, 1996: 10) yang biasanya berjenis kata fungsi (function word), misalnya artikel a, an, dan the, preposisi up, in, out, konjungsi and, or, but, dan juga afik un- , in- , -ness, dan–ly dalam bahasa Inggris. Sedangkan Kridalaksana (2007, 19) merumuskan bahwa partikel adalah bentuk-bentuk ujaran yang berstatus kata yang terbatas kebebasannya. Bentuk-bentuk seperti pada, dari, karena, ke, untuk dan sebagainya, terbatas kebebasannya dibandingkan dengan bentuk-bentuk rumah, pergi, sangat, dan sebagainya.
Melihat fungsi dan posisi dalam struktur tata bahasa Melayu ‘ba’ dan ‘na’ memiliki ciri-ciri sebagai partikel. Perhatikan contoh berikut:
(1)   Jangan begitu ba.
(2)   Anak kecil yang kamu ceritakan itu na.
Kata ‘ba’ dalam (1) dan ‘na’ dalam (2) tidak mengurangi makna pokok ketika kehadirannya tidak terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa kedua kata tersebut memiliki fungsi yang tidak pokok atau minor dalam bahasa Melayu. Selain itu fungsi ‘ba’ dan ‘na’ dalam (1) dan (2) lebih mirip dengan partikel lain dalam bahasa Melayu dialek Betawi ’dong’ dan ‘tuh’. Hal ini bisa dilihat dalam contoh (3) dan (4) berikut:
(3)   Jangan begitu dong.
(4)   Anak kecil yang kamu ceritakan itu tuh.
Dari contoh (3) dan (4), kata ‘ba’ dan ‘na’ dapat menggantikan partikel lain dalam bahasa Melayu. Melihat fungsi yang bisa digantikan, analogi yang bisa dirumuskan adalah bahwa kata ‘ba’ dan ‘na’ merupakan partikel dalam bahasa Melayu. Karena dua partikel tersebut hanya muncul pada varian dialek Tarakan Kalimnatan Timur maka dapat dikatakan bahwa kata ‘ba’ dan ‘na’ adalah partikel dalam bahasa Melayu dialek Tarakan Kalimantan Timur.
2.      Bahasa Melayu
Secara historis, bahasa Indonesia merupakan salah satu dialek temporal dari bahasa-bahasa Melayu, yang struktur maupun khazanahnya sebagian besar masih sama atau mirip dengan dialek-dialek temporal terdahulu, seperti bahasa Melayu Klasik dan bahasa Melayu Kuno. Secara sosiologis, bolehlah dikatakan bahwa bahasa Indonesia baru dianggap ‘lahir’ atau diterima eksistensinya pada tanggal 18 Agustus 1928. Secara yuridis baru tanggal 18 Agustus 1945 bahasa Indonesia secara resmi diakui keberadaannya (Kridalaksana, 2007: 2).
Dalam keadaannya sekarang ini, bahasa Indonesia menumbuhkan varian-varian, yaitu varian menurut pemakai yang disebut dialek. Lebih lanjut Kridalaksana mengemukakan bahwa variasi bahasa berdasarkan pemakai bahasa dibedakan atas:
a.       dialek regional, yaitu variasi bahasa yang dipakai di daerah tertentu. Variasi regional ini membedakan bahasa yang dipakai di satu tempat dengan yang dipakai di tempat lain, walaupun variasi-variasinya berasal dari satu bahasa. Kemudian, dikenal bahasa Melayu dialek Ambon, dialek Jakarta, dialek Tarakan, atau dialek Medan.
b.      dialek sosial, yaitu dialek yang dipakai oleh kelompok sosial tertentu atau yang menandai startum sosial tertentu, misalnya dialek wanita, dialek remaja.
c.       dialek temporal, yaitu dialek yang dipakai pada kurun waktu tertentu, misalnya dialek Melayu zaman Sriwijaya, dialek Melayu zaman Abdullah.
d.      idiolek, yaitu keseluruhan ciri-ciri bahasa seseorang. Sekalipun semuanya berbahasa Indonesia, namun masing-masing mempunyai ciri-ciri khas pribadi dalam lafal, tata bahasa, atau pilihan dan kekayaan kata yang berbeda satu sama lain.
3.      Bahasa Melayu Dialek Tarakan Kalimantan Timur
Bahasa Melayu Dialek Tarakan Kalimanatan Timur adalah bahasa melayu yang dimiliki sebagai bahasa pertama oleh penduduk Tarakan Kalimantan Timur. Bahasa ini menjadi bahasa yang dipakai setiap hari dalam hampir semua konteks dan untuk semua kepentingan komunikasi.
Secara linguistik bahasa Melayu digunakan untuk merujuk pada varian bahasa Indonesia yang menjadi dialek di suatu daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini selaras dengan pandangan mengenai ketentuan ciri bahasa yang menjadi objek penelitian bahasa, yaitu bahwa bahasa yang diteliti haruslah bahasa yang alamiah, lisan, normal pemakaiannya, dan yang digunakan secara wajar (Sudaryanto, 1992: 45). Melihat ciri-ciri tersebut, bahasa Melayu yang adalah bahasa yang digunakan secara lisan, alamiah, normal pemakainnya, dan wajar merupakan dialek yang konkret di daerah Tarakan Kalimantan Timur dari rumpun bahasa Indonesia yang abstrak. Artinya bahwa bahasa Indonesia yang ada pada tataran teori menjadi dialek begitu digunakan secara konkret di suatu wilayah tertentu. Dasar pertimbangan inilah, yaitu bahwa bahasa yang digunakan dalam kehidupan secara nyata dan wajar, yang menjadikan para linguis lebih menyebut bahasa Indonesia sebagai bahasa Melayu. Disebut Melayu karena secara fonologis, morfologis, semantis, dan sintaktis memiliki kemiripan dengan bahasa-bahasa yang menjadi bahasa asli bagi ras penutur aslinya, yaitu Melayu (Durdje Durasid, dkk., 1990:3). Dengan demikian, yang dimaksud dengan bahasa Melayu adalah varian bahasa Indonesia yang digunakan secara konkret oleh penutur di wilayah tertentu di Indonesia.
4.      Pragmatik
Verhaar (1996: 14) mengatakan bahwa pragmatik merupakan cabang ilmu linguistik yang membahas tentang apa yang termasuk struktur bahasa sebagai alat komunikasi antara penutur dan pendengar dan sebagai pengacuan tanda-tanda bahasa pada hal-hal ‘ekstralingual’ yang dibicarakan. Perlu disampaikan pula bahwa penekanan pada rumusan ini adalah pada fungsi komunikasi. Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Levinson (1983: 9).
(5)   Pragmatik merupakan kajian tentang hubungan antara bahasa dan konteks yang diformalkan dalam wujud tata bahasa, atau dirumuskan dalam struktur sebuah bahasa.
Rumusan ini lebih menitikberatkan pada aspek-aspek hubungan antara bahasa dan konteks yang relevan dalam penulisan tata bahasa. Sedangkan Gazdar (1979: 2) merumuskan bahwa pragmatik = semantik – kebenaran realitas. Di bagian lain Levinson (1983: 21) memberikan koreksi atas rumusannya terdahulu. Dikatakan bahwa pragmatik merupakan kajian tentang hubungan antara bahasa dan konteks yang menjadi dasar untuk pemahaman bahasa. Dalam rumusan ini Levinson memberikan penekanan pada fungsi untuk pemahaman bahasa. Pemahaman bahasa di sini dipakai untuk memberikan tekanan pada fakta bahwa pemahaman sebuah tuturan membutuhkan lebih dari sekadar mengerti semua makna kata yang dituturkan dan semua hubungan gramatikal antar katanya. Namun, pemahaman sebuah tuturan bahasa butuh membuat inferences yang akan menghubungkan apa yang dikatakan dengan apa yang diandaikan dan apa yang telah diucapkan sebelumnya. Dan berikut adalah rumusan pragamtik yang banyak dikutip sebagai definisi pragmatik dalam buku-buku pragmatik. Definisi berikut menjadi inti kajian pragmatik terutama dalam aspek ketepatan dan keluwesan berbahasa.
(6)   Pragmatik merupakan kajian tentang kemampuan pengguna bahasa untuk memasangkan kalimat-kalimat dalam tuturan dengan konteks yang sesuai.
Definisi (5) di atas menempatkan pragmatik setara dengan aspek-aspek kajian linguistik lain. Karena jika pragmatik dianggap salah satu aspek kompetensi linguistik dalam Pengertian Chomsky (1957), maka seperti halnya aspek-aspek lain pragmatik pasti mengandung kemampuan kognitif abstrak. Pandangan ini sama dengan inti kajian semantik yang menekankan kesesuaian kondisi realitas (truth condition) yang berulang dengan kaidah-kaidah bahasa yang berterima. Ini berarti teori pragmatik juga seharusnya mampu memprediksi konteks yang cocok untuk setiap kalimat yang berterima dalam sebuah bahasa dan dalam pemahaman semantik tertentu.
5.      Konteks Pragmatik
Dari rumusan mengenai definisi pragmatik di atas secara umum dinyatakan bahwa pragmatik menekankan kajiannya pada tuturan bahasa yaitu tuturan yang dipakai dalam komunikasi nyata. Dalam komunikasi yang sesungguhnya, setiap tuturan bahasa pasti bergantung pada konteks-konteks komunikasi yang biasa disebut konteks pragmatik. Secara sederhana konteks pragmatik dapat dinyatakan sebagai factor-faktor yang menentukan pemaknaan tuturan bahasa seperti yang dimaksud oleh penutur dan mitra tutur.
Perlu dikemukakan bahwa konteks yang dimaksud dalam tulisan ini adalah konteks seputar penggunaan bahasa dalam tuturan. Untuk itu perlu dijelaskan lebih dahulu keterkaitan antara bahasa dan hakekat konteks.
Fakta bahwa bahasa selalu berhubungan dengan konteks dapat dijelaskan dalam beberapa cara. Pertama, penutur bahasa menggunakan bahasa yang berbeda untuk maksud yang sama dalam konteks yang berbeda. Beberapa konteks berikut memungkinkan penutur menggunakan bahasa yang berbeda.
(7)         a.   Meminjam sejumlah uang dari orang dekat untuk membeli sebuah koran.
b.      Meminjam sejumlah uang dari salah seorang saudara untuk membayar sewa rumah.
c.       Meminjam uang dari bank untuk membeli sebuah rumah.
Akan terlihat jelas bahwa dalam setiap situasi di atas banyak hal dapat dikemukakan. Yang perlu dicatat adalah bahwa tipe bahasa yang berbeda akan disesuaikan dengan konteks, dan bahwa bahasa yang digunakan sangat tergantung pada hal-hal seperti siapa yang terlibat dalam tuturan, relasi antara penutur dan mitra tutur, dan maksud yang ingin disampaikan dalam tuturan.
Cara kedua untuk mengkaji hubungan bahasa dengan konteks berkaitan dengan hakekat bahasa, yaitu bahwa tuturan yang sama mungkin memiliki maksud yang berbeda dalam konteks yang berbeda., Misalnya
(8)      Seorang teman memberi saran tentang kemungkinan menemukan kunci motor dalam saku: “Rupanya kamu harus merogoh sakumu lebih dalam lagi.”
(9)      Seorang teman memberi komentar tentang harga mobil yang ternyata lebih mahal dari perkiraan mereka sebelumnya: “Rupanya kamu harus merogoh sakumu lebih dalam lagi.”
Meski tuturan konkretnya sama namun karena konteks yang berbeda maka kedua tuturan yang sama tersebut memiliki makna yang berbeda.
Cara ketiga terkait dengan mekanisme intuitif penutur bahasa dalam merangkai maksud tuturan. Meskipun sebuah tuturan diambil dari konteksnya, penutur bahasa tetap mampu menangkap konteks yang terkait. Misalnya,
(10)     Tigapuluh sama.
(11)     Pertama, pastikan bahwa tidak ada bagian yang kurang lalu pasangkan bagian kaki terlebih dahulu.
(12)     Kota ini tidak cukup besar untuk kita berdua.
Konteks umum untuk contoh (10) berkaitan dengan pertandingan tenis lapangan. Untuk contoh (11), konteks umumnya adalah instruksi untuk merangkai rangkaian meja belajar atau peralatan furniture lain. Sedangkan contoh (12) biasanya berkonteks adegan film yang menggambarkan dua orang cowboy yang bermusuhan ketika saling bertemu di suatu kota.
Semakin kaya penutur bahasa mengalami konteks tuturan dalam peristiwa tuturan yang nyata, maka semakin ahli penutur bahasa tersebut menyesuaikan bahasanya untuk konteks-konteks tuturan yang ditemui (Hewings and Hewings, 2005: 19). Lebih lanjut Hewings & Hewings mengemukakan bahwa kemampuan ini bersifat intuitif dan otomatis.
Secara garis besar dapat dikemukakan bahwa konteks tuturan adalah apa saja yang terkait dengan tuturan (2005: 19-20). Meskipun hal ini kurang membantu memberikan gambaran mengenai konteks tuturan, paling tidak memberi bekal para linguis untuk melakukan kajian lebih lanjut mengenai konteks tuturan. Dari rumusan sederhana tersebut dapatlah dikemukakan bahwa terdapat dua unsur terkait dengan tuturan, yaitu segala sesuatu terkait dengan bahasa (linguistic) dan diluar bahasa (non-linguistic) yang memungkinkan penutur dan mitra tutur berhasil menafsirkan tuturan secara tepat (appropriate). Lebih lanjut perlu dikemukakan bahwa masing-masing unsur tersebut masih mempunyai lapisan-lapisan yang membedakan sebagai konteks tuturan. Diagram di bawah ini (lihat Hewings & Hewings, 2005: 23) menggambarkan keterkaitan antara tuturan dan lapisan-lapisan konteks yang patut dipertimbangkan untuk memahami maksud tuturan secara lebih tepat.
                                                        
                                           IV. Wider Socio-
                                           Cultural Context
                                                 III. Local
                                         Situational Context
                                                        
                                                 II. Wider
                                          Linguistic Context
                                                        
I.       Local
                                          Linguistic Context
                                                 Utterance

Diagram 1. Tuturan dalam konteks
Yang dimaksud dengan konteks linguistik lokal (Local Linguistic Context) adalah bahasa dalam tuturan baik yang tersirat seperti deictics, pronomina, dan kata-kata gramatikal lain maupun yang berupa kata-kata lain yang diasumsikan menjadi lanjutan tuturan. Dari contoh (12) Kota ini tidak cukup besar untuk kita berdua, kata ini dan kita merupakan contoh konteks linguistik lokal. Kata-kata tersebut merujuk pada sesuatu yang diasumsikan telah diketahui sebelumnya baik oleh penutur maupun mitra tutur. Dalam contoh (11), penutur memahami sepenuhnya bahwa tuturan (11) bukanlah tuturan tunggal, melainkan tuturan yang mengisyaratkan adanya tuturan lanjutan. Informasi sebagai tuturan lanjutan yang diharapkan atau diasumsikan juga merupakan contoh konteks linguistik lokal.
Konteks linguistik meluas (Wider Linguistic Context) merujuk pada sesuatu yang menghubungkan suatu teks dengan teks lain, dan pada sesuatu yang memungkinkan penutur memanfaatkan pengalaman sebelumnya terhadap teks lain untuk memahami sebuah teks. Mekanisme ini juga sering disebut hubungan intertekstual yang sering diartikan sebagai seperangkat pengetahuan yang mengantarkan penutur bahasa pada sebuah teks memanfaatkan pengalaman terhadap teks-teks lain sebelumnya. Contoh yang lebih jelas misalnya dalam memahami teks berupa cerita-cerita yang berseri dalam Harry Potter. Tanpa penjelasan terinci mengenai peristiwa-peristiwa dalam cerita seri berikutnya, pembaca telah mengetahui dengan jelas semua peristiwa terkait dengan peristiwa pada cerita berikutnya.
Konteks situasi lokal termasuk didalamnya adalah waktu, tempat, usia, jenis kelamin penutur dan mitra tutur beserta status sosialnya. Sedangkan konteks sosial-budaya meluas (Wider Socio-cultural Context) merujuk pada latar belakang yang lebih luas yang memungkinkan penutur memahami peristiwa komunikasi secara benar. Latar belakang ini termasuk aspek sosial dan politik bahasa atau kelompok bangsa pengguna bahasa yang berlaku dalam masyarakatnya.
Pendekatan kajian konteks dirintis oleh seorang linguis sekaligus seorang antropolog bernama Bronislaw Malinowski. Malinowski (1923: 4) mendapat kesulitan pada saat menerjemahkan kata-kata dan ide-ide dari penduduk asli Papua Nugini dalam penelitian antropologisnya. Hal ini mengantarkannya pada pemahamannya akan pentingnya konteks dalam komunikasi.
All words which describe the native social order, all expressions referring to native beliefs, to specific customs, ceremonies, magical rites –all such words are obviously absent from English as from any European language. Such words can only be translated into English, not by giving them imaginary equivalent —a real one obviously cannot be found— but by explaining the meaning of each of them through an exact Ethnographic account of the sociology, culture and tradition of that native community. (Malinowski 1923/ 1994:1)

(Semua kata yang melukiskan pranata sosial penduduk asli, semua ungkapan-ungkapan tentang kepercayaan-kepercayaan asli, kebiasaan, upacara, ritual-ritual magis –semua kata-kata semacam itu telah lama hilang dari bahasa Inggris dan dari bahasa-bahasa Eropa lain. Kata-kata itu hanya dapat diterjemahkan dalam bahasa Inggris, bukan dengan memberikan padanan kata rekaan –karena padanan asli tidak pernah ditemukan— tetapi dengan memberikan penjelasan tentang makna masing-masing kata melalui kajian-kajian etnografis dari masyarakat, budaya dan tradisi masyarakat asli.)


Bagi Malinowski, kata-kata akan bermakna hanya jika dikaitkan dengan unsur-unsur konteks yang memungkinkan kata-kata tersebut digunakan.
Meskipun Malinowski menekankan pentingnya konteks dalam komunikasi, linguis satu ini tidak merumuskan secara jelas baik tentang hakekat konteks maupun pengaruhnya terhadap pilihan bahasa. Hal ini menjadi kajian lebih lanjut para peneliti untuk secara mendalam mengkaji hubungan konteks dengan bagaimana bahasa dimanfaatkan untuk tujuan komunikasi. Tiga peneliti, yaitu John Rupert Firth, Dell Hymes, dan Michael Halliday, menghasilkan rumusan seputar konteks yang cukup mantap dan menjadi rujukan para peneliti lain.
Kajian J.R. Firth mengemukakan beberapa konteks situasi tertentu yang membantu memprediksi bagaimana bahasa digunakan. Firth (1957: 182) mengajukan beberapa dimensi situasi yang memberi pengaruh pada tuturan, yaitu: 1) karakter partisipan yang relevan seperti pribadi penutur, kepribadian penutur yang mencakup tindakan berbahasa dan non-bahasa dari penutur, 2) benda-benda yang terkait dengan permasalahan pokok tuturan, dan 3) hasil/ akibat dari tuturan tersebut.
Untuk lebih menjelaskan, Firth memberi ilustrasi tentang peristiwa tuturan di gedung teater antara pembeli tiket dan petugas tiket. Karakter partisipan yang relevan, yaitu seorang merupakan pembeli yang bermaksud mendapatkan tempat duduk untuk menonton pertunjukan yang masih tersedia dan membeli tiket, sedangkan karakter lainnya sebagai petugas pemesanan tiket yang mempunyai akses untuk memberikan informasi mengenai ketersediaan tempat duduk dan menerima pembayaran. Aktivitas bahasa bisa berupa salam, permintaan, konfirmasi, dan sebagainya. Aktivitas non-bahasa bisa berupa menunjukkan informasi tempat duduk dari layar computer, menerima kartu kredit dan memproses pemesanan tiket. Benda-benda yang terkait dengan peristiwa tuturan misalnya computer, denah tempat duduk, kartu kredit, dan mesin transaksi kartu kredit, tiket dan sebagainya. Akibat/ hasil dari tuturan adalah bahwa pembeli tiket mendapatkan tiket untuk pertunjukan yang dikehendaki dan tempat duduk telah disediakan oleh petugas pemesanan tiket.
Fitur-fitur konteks yang potensial membentuk makna dan ketepatan tuturan juga dikemukan oleh Dell Hymes (dalam Bell 1976: 70-81). Fitur-fitur konteks ini biasa dikemukakan dalam rumusan ‘SPEAKING’.
S  merujuk pada Setting and Scene, yaitu waktu, tempat dan lingkungan terjadinya peristiwa tuturan,
P  merujuk pada participants, yaitu penutur dan mitra tutur,
E  merujuk pada ends, yaitu tujuan atau maksud sebuah peristiwa tuturan,
A  merujuk pada act sequence, yaitu bentuk dan isi peristiwa tuturan,
K merujuk pada key, yaitu suasana peristiwa tuturan, seperti suasana formal atau ‘gojeg’,
I merujuk pada instrumentalities, yaitu media bahasa yang digunakan dalam peristiwa tuturan,
N merujuk pada norm of interaction and interpretation, yaitu tata nilai perilaku dalam peristiwa tuturan,
G merujuk pada genre, yaitu bentuk-bentuk linguistik seperti puisi, kothbah, atau lelucon.

Sangat dekat terkait dengan rumusan Firth, Michael Halliday mengkaji lebih mendalam aspek-aspek konteks yang memberi pengaruh terhadap penggunaan bahasa dalam tuturan. Bagi Halliday (1978), sosial konteks tersusun atas fitur-fitur umum situasi yang secara bersamaan berfungsi menentukan teks (tuturan), yang menunjukkan konfigurasi semantis secara khas disesuaikan dengan konteks yang tersedia. Social context consists of those general properties of the situation which collectively function as the determinants of text, in that they specify the semantic configurations that the speaker will typically fashion in contexts of the given type.
B.       Kerangka Konseptual
Setelah pengertian dan indikator masing-masing komponen yang terlibat dalam penelitian dibahas secara luas maka berikut akan disampaikan bentuk dan kerangka konseptual serta hubungan antar variabelnya.

a.       Partikel ‘ba’ dan ‘na’ dan peta teorinya
Dalam pembahasan mengenai peta teori partikel ‘ba’ dan ‘na’ dalam bahasa Melayu dialek Tarakan Kalimantan Timur dilakukan untuk mengetahui kedudukan partikel ‘ba’ dan ‘na’ dalam bahasa Melayu dialek Tarakan terutama dilihat dari pentingnya partikel tersebut dalam bahasa Melayu dialek Tarakan dalam proses komunikasi harian. Hal ini dilihat dari keharusan kemunculan partikel tersebut dalam komunikasi harian, misalnya apakah partikel tersebut harus dan selalu hadir dalam setiap komunikasi. Dalam pemetaan teori ini nantinya juga dipakai untuk mengetahui kedudukan dan fungsi partikel ‘ba’ dan ‘na’ secara linguistik dalam aspek fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantiknya.

b.      Bahasa Melayu dialek Tarakan Kalimantan Timur dan peta teorinya
Pembahasan mengenai bahasa Melayu dialek Tarakan dan peta teorinya dilakukan untuk memberikan batasan yang jelas mengenai sumber data kajian yang dimaksud dengan bahasa Melayu dialek Tarakan. Hal ini dilakukan agar secara metodologis kajian penelitian lebih terarah dan tidak menyimpang dari rancangan penelitian guna mendapatkan hasil yang diharapkan. Dalam bagian ini juga dilakukan identifikasi partikel-partikel lain yang ada dalam bahasa Melayu dialek Tarakan sekaligus juga dijadikan sumber rujukan untuk menelusuri sejarah penggunaan partikel ‘ba’ dan ‘na’ secara diakronis dari waktu ke waktu.
c.       Konteks pragmatik
Konteks pragmatik dalam kajian penelitian ini diterapkan untuk mendapatkan data yang akurat yang kemudian nantinya dipakai untuk dasar analisis mengenai konteks-konteks pragmatik apa saja yang terlibat dalam penggunan partikel ‘ba’ dan’na’ dalam bahasa Melayu dialek Tarakan. Dalam tahapan ini kajian mengenai konteks pragmatik dimanfaatkan termasuk untuk menyusun instrument pengumpulan data di lapangan.
Data yang telah diarahkan sesuai dengan konteks-konteks pragmatik nantinya akan memberikan dukungan kajian penelitian untuk menjawab pertanyaan seputar konteks pragmatik apa saja yang menentukan penggunaan partikel ‘ba’ dan ‘na’ dalam bahasa Melayu dialek Tarakan. Kajian ini dipakai untuk mendapatkan hasil kajian dari segi objektif dalam rangka rangkaian penelitian yang bersifat holistik.

C.     Kerangka Pikir
Agar penelitian ini bisa dilaksanakan dengan lancar, dan mengarahkan analisisnya pada tujuan, berikut ini dikembangkan kerangka pikir yang akan digunakan dalam penelitian ini. Namun kerangka pikir ini tetap bersifat lentur dan terbuka, ketepatan penggunaannya akan ditentukan dan disesuaikan dengan apa yang terjadi di lapangan. Dalam penelitian ini, proses penelitian berlangsung dalam bentuk siklus seperti halnya penelitian-penelitian kulitatif pada umumnya.
Secara singkat kerangka pikir bagi penelitian ini dapat digambarkan dengan skema 1. Skema kerangka pikir, sebagai berikut:

                                            komunikasi lisan
                                        dalam bentuk tuturan
                                                               

       faktor genetik                              faktor objektif                               factor afektif
      konteks-konteks                                  pola-pola                              dampak, dan manfaat
pragmatik penggunaan                           penggunaan                                   penggunaan
  partikel ‘ba’ dan ‘na’                     partikel ‘ba’ dan ‘na’                     partikel ‘ba’ dan ‘na’












 




                                                          makna
                                           komunikasi menggunakan
                                               partikel ‘ba’ dan ‘na’
                                           meningkatkan pemahaman
                                              dan keselarasan bunyi
                                                          tuturan
Sebagai penjelasan kerangka pikir tersebut, dalam kegiatan komunikasi lisan dalam bentuk tuturan, penutur bahasa Melayu dialek Tarakan dipengaruhi oleh konteks-konteks pragmatik seperti umur, jenis kelamin, latar belakan pengetahuan dan konteks-konteks pragmatik seperti telah diuraikan sebelumnya yang membuat mereka menggunakan partikel ‘ba’ dan ‘na’ dalam pola-pola struktur kalimat yang berterima secara tepat (appropriate) dalam penggunaan kedua partikel tersebut. Dampak dan manfaat penggunaan partikel ‘ba’ dan ‘na’ dalam komunikasi antarpenutur dirasakan positif dalam hal pemahaman dan keberterimaan. Faktor-faktor ini mendorong penutur bahasa Melayu dialek Tarakan termotivasi untuk selalu menggunakan partikel ‘ba’ dan ‘na’ sesuai dengan konteks-konteks pragmatik dan pola-pola struktur kalimat yang berterima.













BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
A.    Tujuan Penelitian
Seperti telah diungkapkan pada bagian sebelumnya, penelitian ini terutama ingin memberikan sumbangan terhadap pelestarian bahasa-bahasa lokal yang menjadi kekayaan bangsa Indonesia. Namun secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
1.         mendeskripsikan konteks pragmatik yang mempengaruhi kemunculan partikel ‘ba’ dan ‘na’ dalam bahasa Melayu dialek Tarakan Kalimantan Timur,
2.         mendeskripsikan pola penggunaan partikel ‘ba’ dan ‘na’ dalam struktur kalimat bahasa Melayu dialek Tarakan Kalimantan Timur,
3.         mendeskripsikan manfaat penggunaan partikel ‘ba’ dan ‘na’ dalam bahasa Melayu dialek Tarakan Kalimantan Timur.
B.     Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini secara nasional sangat bermanfaat terutama dalam rangka pelestarian kekayaan bahasa yang dimiliki. Masyarakat lokal dan pemerintah daerah Tarakan Kalimantan Timur secara pragmatik mendapatkan dokumentasi tertulis yang tentunya bermanfaat untuk perkembangan kultural masyarakat lokal. Melalui hasil penelitian ini masyarakat lokal dapat semakin mencintai kekayaan budaya lokal dan kebijaksanaan setempat berkaitan dengan bahasa mereka dan semakin memotivasi diri untuk melestarikan kekayan bahasa dan budaya yang dimiliki. Bagi penulis sendiri, hasil penelitian ini memberi insprirasi untuk semakin setia menggeluti bidang kajian linguistik dan untuk melakukan tindakan nyata dalam rangka melestarikan kekayaan bahasa dan budaya bangsanya. Secara teoretis hasil penelitian ini memberikan sumbangan teoretis guna mengembangkan kekayaan ilmu linguistik secara umum.
Secara lebih luas, dokumentasi linguistik bahasa Melayu Dialek Tarakan ini mendukung gerakan pelestarian bahasa-bahasa asli daerah yang menjadi perhatian dunia melalui badan dunia UNESCO. Seperti telah diketahui bersama bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui UNESCO telah menjadikan bahasa sebagai warisan dunia. Sehingga gerakan pelestarian bahasa menjadi perhatian dan tanggung jawab dunia.
















BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini terutama mengkaji tentang penggunaan partikel ‘ba’ dan ‘na’ dalam bahasa Melayu dialek Tarakan Kalimantan Timur. Untuk memperoleh hasil yang akurat seperti yang diharapkan maka penelitian ini juga menerapkan metode yang disyaratkan bagi sebuah kajian ilmiah. Hal ini dilakukan untuk memenuhi syarat keilmuan dari sebuah penelitian seperti yang diungkapkan oleh Jujun S. Suriasumantri (dalam Sudaryanto 1992: 1), yaitu bahwa ‘pengetahuan yang diproses menurut metode ilmiah merupakan pengetahuan yang memenuhi syarat-syarat keilmuan, dan dengan demikian dapat disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu’.
A.      Lokasi Penelitian
Penelitian kajian tentang partikel ‘ba’ dan ‘na’ ini dilakukan di wilayah geografis Kota Madya Tarakan Kalimantan Timur. Kota Tarakan dipilih mengingat penggunaan partikel ‘ba’ dan ‘na’ dalam komunikasi sehari-hari menggunakan bahasa Melayu menjadi hal yang sangat biasa dan wajar. Artinya dari sudut pandang frekuensi kemunculan partikel ‘ba’ dan ‘na’ dalam dialek ini sangat signifikan. Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa bahasa yang layak dijadikan objek penelitian adalah bahasa yang secara wajar digunakan dalam komunikasi riil secara otomatis tanpa syarat-syarat kemunculan yang rumit (Sudaryanto, 1992: 40 – 50) Di samping itu tingkat sebaran lokasi, varian penutur, nosi, dan situasi penggunakan partikel tersebut cukup merata.
Mengingat kondisi geografis Tarakan yang merupakan sebuah pulau kecil dengan penduduk asli kurang lebih 200.000 jiwa, maka lokasi penelitian dilakukan di sebanyak mungkin wilayah Kota Madya Tarakan. Kelengkapan data diperoleh dari pengembangan konteks tuturan berupa peristiwa-peristiwa tindak tutur yang berbeda atas dasar nosi atau topik khas pada lingkup tempat, profesi, ritual keagamaan resmi dan tidak resmi, dan pada variasi kedekatan relasi penutur dan mitra tutur.
B.       Strategi Penelitian
Berdasarkan masalah penelitian ini yang lebih menekankan pada bentuk dan fungsi bahasa dalam peristiwa komunikasi, jenis penelitian dengan strateginya yang terbaik adalah penelitian kualitatif deskriptif. Jenis penelitian ini dipilih karena dimungkinkan untuk menangkap berbagai informasi kualitatif dengan deskripsi teliti dan penuh nuansa, yang lebih berharga daripada sekedar penyataan jumlah ataupun frekuensi dalam bentuk angka. Strategi yang digunakan adalah studi kasus, dan karena lokasi studi terdiri dari beberapa lokasi dengan kekhususan nosi tersendiri yang akan merupakan unit analisis sendiri-sendiri pula yang selanjutnya akan disatukan dalam analisis antarkasus untuk menemukan simpulan studi secara lengkap, maka studi kasus ini merupakan penelitian dengan strategi kasus ganda.
Mengingat kajian teori mengenai penggunaan partikel ‘ba’ dan ‘na’ dalam bahasa Melayu dialek Tarakan telah tersedia, maka peneliti merancang sebelumnya fokus penelitian dan mengkaji secara teoretis berdasarkan pada tujuan dan minat peneliti sebelum peneliti masuk ke lapangan studi. Artinya, penelitian ini juga bersifat penelitian terpancang atau embedded research (Sutopo, 2006: 39).
C.       Jenis Data dan Sumber Data
Mengingat penelitian ini mengkaji tentang penggunaan bahasa dan penggunaan bahasa seharusnya dalam kerangka komunikasi lisan, maka jenis data penelitian ini berupa data kualitatif. Jenis data yang dikumpulkan terutama berupa tuturan kontekstual dalam peristiwa-peristiwa komunikasi yang wajar yang dilakukan oleh penutur asli bahsa Melayu dialek Tarakan.
Data dalam bentuk tuturan itu aka digali dari beragam sumber data, dan jenis sumber data yang akan dimanfaatkan dalam penelitian ini meliputi:
1.      Informan atau nara sumber yang adalah penutur asli, yang terdiri dari anak-anak muda usia sekolah menengah atas, pemuka agama, penjual dan pembeli di pasar, penumpang pesawat di bandara, serta para pengunjung supermarket dan mal. Mengingat nara sumbernya adalah manusia yang tentu memiliki keragaman informasi yang mempengaruhi kualitas data maka peneliti menentukan bahwa nara sumber penelitian adalah masyarakat dengan tingkat penguasaan bahasa Melayu dialek Tarakan yang baku dilihat dari keberterimaan bahasa yang digunakan dalam sebanyak mungkin konteks dan situasi.
2.      Tempat dan peristiwa tindak tutur yang menjadi sumber data terdiri dari lingkungan kerja berupa kantor, pasar, mal, hotel, dan bandara, lingkungan keluarga misalnya percakapan makan malam dan bertamu, serta lingkungan bermain seperti telah disebutkan sebelumnya yaitu mal, dan tempat-tempat wisata setempat, yaitu pantai Amal, pantai Juwata, dan kolam renang Juwata Tirta.
D.    Teknik Sampling (Cuplikan) 
Dalam penelitian kualitatif, teknik cuplikan yang digunakan bukanlah cuplikan statistik atau yang biasa dikenal sebagai probability sampling yang biasa digunakan dalam penelitian kuntitatif (Sutopo, 2006: 63). Penelitian kualitatif cenderung menggunakan teknik cuplikan yang bersifat selektif dengan menggunakan pertimbangan berdasarkan konsep teoretis yang digunakan, keingintahuan pribadi peneliti, karakteristik empirisnya, dan lain-lain. Oleh karena itu cuplikan yang akan digunakan dalam penelitian ini lebih bersifat purposive sampling, atau lebih tepat disebut sebagai cuplikan dengan criterion-based selection (Goetz & LeCompte dalam Sutopo, 2006). Dalam hal ini peneliti akan memilih informan yang dipandang paling tahu, sehingga kemungkinan pilihan informan dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan kemantapan peneliti dalam memperoleh data. Cuplikan semacam ini lebih cenderung sebagai internal sampling yang member kesempatan bahwa keputusan bisa diambil begitu peneliti mempunyai suatu pikiran umum yang muncul mengenai apa yang sedang dipelajari, dengan siapa akan berbicara, kapan perlu melakukan observasi yang tepat, dan juga berapa jumlah serta macam dokumen yang perlu ditelaah.
E.     Teknik Pengumpulan Data 
Seperti telah disinggung di bagian sebelumnya, penelitian ini membutuhkan sumber data berupa tuturan bahasa manusia, dan bentuk penelitian dan jenis sumber data yang dimanfaatkan adalah bentuk penelitian kualitatif, maka teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah:
1.      Wawancara mendalam
Wawancara jenis ini bersifat lentur dan terbuka, tidak terstruktur ketat, tidak dalam suasana formal, dan bisa dilakukan berulang pada informan yang sama, serta memberikan konteks data yang alami dan wajar yang menjadi persyaratan pokok suatu penelitian bahasa. Pertanyan yang diajukan bisa semakin terfokus sehingga infomasi yang bisa dikumpulkan semakin rinci dan mendalam. Kelonggaran dan kelenturan cara ini akan mampu menggali data yang dihasilkan dari kejujuran informan dalam memberikan informasi yang sebenarnya, terutama yang berkaitan dengan factor afektif, berupa perasaan, sikap, dan pandangan mereka terhadap penggunan partikel ‘ba’ dan ‘na’ dalam komunikasi keseharian mereka. Teknik wawancara ini akan dilakukan untuk semua informan.
2.      Observasi langsung
Dalam observasi ini peneliti hanya sebagai pengamat yang hadir di lokasi tanpa terlibat dalam kegiatan tuturan. Dalam penelitian kualitatif teknik ini sering disebut sebagai observasi berperan pasif (Spradley dalam Sutopo, 2006: 75 – 77). Observasi langsung ini dilakukan dengan cara formal dan informal, untuk mengamati berbagai kegiatan dan peristiwa yang terjadi dalam peristiwa-peristiwa tuturan keseharian dalam lingkungan keluarga, sekolah, tempat kerja, dan tempat bermain.
3.      Mencatat dokumen
Teknik ini akan dilakukan untuk mengumpulkan data yang bersumber dari dokumen dan arsip terutama yang terdapat dalam cerita rakyat setempat dan sumber-sumber data tertulis lainnya. Teknik ini juga dikembangkan guna memperoleh bukti tertulis penggunaan partikel ‘ba’ dan ‘na’ dari waktu ke waktu guna menemukan pola perubahan struktur penggunaan Kedua partikel tersebut.
F.      Pengembangan Validitas 
Dengan mempertimbangkan varian data penelitian yang diperoleh di lapangan yang beragam, maka peneliti bermaksud membangun validitas data dengan hanya menggunakan validitas trianggulasi sumber, yaitu mengumpulkan data sejenis dari beberapa sumber data yang berbeda, misalnya mengenai kegiatan program yang digali dari sumber data yang berupa informan, arsip, dan peristiwa tuturan. Hal ini juga berkaitan dengan varian teknik pengumpulan data yang melibatkan wawancara, dokumentasi arsip dan observasi. Dengan menggunakan trianggulasi sumber, peneliti dapat memperoleh validitas data dengan mengkaji dan memperbandingkan data yang diperoleh dari berbagai sumber berupa informan maupun hasil dokumentasi arsip dan observasi. Trianggulasi sumber yang dipakai dapat dilihat dalam diagram berikut:

                                  wawancara                                        informan

data                       content analysis                                   dokumen/ arsip

                                   observasi                                        aktivitas/ perilaku

Diagram 2. Trianggulasi Sumber
G.    Teknik Analisis
Penelitian ini menggunakan teknik analisis induktif, yaitu bahwa semua simpulan dibentuk dari semua informasi yang diperoleh dari lapangan. Proses analisis ini dilakukan bersamaam sejak awal dengan proses pengumpulan data, dengan melakukan beragam teknik refleksi bagi pendalaman dan pemantapan data.Setiap data yang diperoleh akan selalu dikomparasikan, setiap unit atau kelompoknya untuk melihat keterkaitannya sesuai dengan tujuan penelitian. Selain itu pemantapan dan pendalaman data proses yang dilakukan selalau dalam bentuk siklus, sebagai usaha verivikasi.
Unit analisis perkasus dalam penelitian ini adalah tiap nosi atau setting peristiwa tuturan. Proses analisis dilakukan sejak awal bersamaan dengan proses pengumpulan data dalam bentuk refleksi. Karena penelitian ini akan dilakukan di beberapa tempat maka analisis kasus yang digunakan adalah analisis antarkasus. Pada tiap kasusnya proses analisis akan dilakukan dengan menggunakan model analisis interaktif. Dalam model analisis ini, tiga komponen analisisnya yaitu reduksi data, ssajian data, dan penarikan simpulan atau verifikasinya dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses pengumpulan data sebagai suatu proses siklus. Aktivitas dalam bentuk interaktif tersebut dilakukan baik pada analisis setiap unit kasusnya, maupun pada analisis antarkasusnya, untuk memahami kesamaan dan juga perbedaanya. Dalam melaksanakan proses ini peneliti aktivitasnya tetap selalu bergerak di antara tiga komponen analisis tersebut sesudah pengumpulan data selesai pada setiap unitnya dengan menggunakan waktu yang masih tersisa dalam penelitian ini. Namun apabila simpulan akhir dirasakan belum cukup mantap, maka peneliti tetap akan berusaha kembali ke lapangan untuk menggali data dengan pertanyaan yang terfokus pada tujuan untuk mendapatkan data yang bisa mendukung sebagai penguat simpulan akhirnya, Sebelum laporan penelitian disusun secara lengkap.
Karena sifat penelitian kualitatif yang lentur dan terbuka (Sutopo, 2006), meski penelitian ini menggunakan strategi studi kasus terpancang dengan kegiatan yang dipustkan pada tujuan dan pertanyan yang telah jelas dirumuskan, Namun proposal ini tetap bersifat terbuka dan spekulatif karena segalanya secara pasti akan ditentukan kemudian oleh keadaan yang sebenarnya ditemukan di lokasi studi. Unutk lebih jelasnya, proses model analisi interaktif dapat digambarkan dengan skema 2. Skema proses analisis interaktif, sebagai berikut (2006: 120):
                                                          
                                                pengumpulan
                                                        data






 
              (1)                                                                                     (2)
       reduksi data                                                                       sajian data
                                                                         (3)
                         
                                                             penarikan
                                                     simpulan/ verifikasi



H.      Prosedur Kegiatan

Kegiatan penelitian ini seluruhnya dilaksanakan sebagai berikut:
1.             Persiapan
a.    Mengurus perjalanan pengambilan data dari tiket perjalanan, akomodasi, dan perlengkapan rekam data berupa voice recorder dan alat tulis.
b.   Menentukan lokasi penelitian: berkoordinasi dengan pemimpin masyarakat (Pastor) mengenai kondisi desa dengan karakteristik yang sesuai dengan pilihan. Kemudian memilih empat desa yang dipandang paling tepat bagi pelaksanaan studi kasus ini.
c.    Meninjau desa-desa terpilih sebagai lokasi penelitian, untuk secara sepintas mempelajari keadaannya, serta kemungkinan memilih nara sumber yang tepat, khususnya para tokoh masyarakat.
d.   Menyusun protocol penelitian, pengembangan pedoman pengumpulan data berupa pertanyaan dan petunjuk observasi, dan juga penyusunan jadwal kegiatan secara rinci.
e.    Memilih dan melatih pembantu penelitian agar mampu secara tepat mengumpulkan data dan mencatat dengan lengkap dan benar.
2.      Pengumpulan Data
a.    Mengumpulkan data di lokasi studi dengan melakukan observasi, wawancara mendalam dan mencatat dokumen dan arsip.
b.    Melakukan kajian sekilas, pembahasan beragam data yang telah terkumpul dengan melaksanakan refleksinya. Menentukan strategi pengumpulan data yang dipandang paling tepat, dan menentukan focus, serta pendalaman dan pemantapan data, pada proses pengumpulan data berikutnya.
c.    Mengatur data dalam kelompok untuk kepentingan analisis, dengan memerhatikan semua variable yang terlibat yang tergambar pada kerangka piker.
3.      Analisis Data

a.       Melakukan analisis awal, bila data tuturan sudah lengkap.
b.      Mengembangkan bentuk sajian data, dengan menyusun koding dan matriks bagi kepentingan analisis lanjut.
c.       Melakukan analisis perkasus dan mengembangkan matriks antar kasus.
d.      Melakukan verifikasi, pengayaan, dan pendalaman data. Bila dalam persiapan analisis ternyata ditemukan data yang kuarang lengkap atau kurang jelas, maka perlu dilakukan pengumpulan data lagi secara lebih terfokus.
e.       Melakukan analisis antar kasus. Semua hasil analisis disatukan dalam proses analisis antarkasus, dan dikembangkan struktur sajian datanya bagi susunan laporan.
f.       Merumuskan simpulan akhir sebagai temuan penelitian.
g.      Merumuskan implikasi kebijakan sebagai bagian dari pengembangan saran dalam laporan akhir penelitian.

4.        Penyusunan Laporan Penelitian

a.       Penyusunan laporan awal.
b.      Peninjauan laporan: pertemuan dengan sponsor yang mengundang para peneliti dan pakar yang cukup memahami penelitian untuk mendiskusikan laporan yang telah disusun sebagai laporan awal.
c.       Perbaikan dan penyempuranaan laporan, dan disusun sebagai laporan akhir penelitian.
d.      Perbanyakan laporan sesuai dengan kebutuhan, dan dikirimkan ke sponsor.


BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini disampaikan hasil penelitian dan pembahasan hasil penelitian dengan mempertimbangkan faktor-faktor yang terkait baik secara teoretis maupun faktual empiris. Pembahasan bagian pertama berbicara seputar Kota Madya Tarakan sebagai lokasi penelitian dan sumber data penelitian berupa data kebahasaan yang diperoleh dari penutur bahasa Melayu yang sekaligus juga merupakan penduduk Kodya Tarakan. Bagian ini juga menjadi landasan pembahasan seputar konteks pragmatik yang memengaruhi penggunaan partikel ‘ba’ dan ‘na’ yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini. Bagian selanjutnya merupakan pembahasan penggunaan partikel ‘ba’ dan ‘na’ dalam bahasa Melayu dialek Tarakan.
A.    Kota Madya Tarakan
1.      Gambaran Umum
Dari data penelitian berupa wawancara langsung dengan beberapa tokoh masyarakat setempat dan dari data dokumen resmi berupa Undang-Undang RI No. 29 Tahun 1997 tertanggal 15 Desember 1997, nama Tarakan merujuk pada bahasa Tidung yang berasal dari kata ‘Tarak’ yang berarti (ber-) temu, dan ‘Ngakan’ yang berarti makan. Jika digabungkan kedua kata tersebut secara harfiah diartikan ‘tempat bertemu’. Rujukan makna komprehensif dengan mengaitkan konteks yang ada gabungan kedua kata itu, Tarakan, dimaknai sebagai ‘tempat para nelayan untuk istirahat makan, bertemu masyarakat lain, serta melakukan barter hasil tangkapan dengan nelayan dan kelompok masyarakat lain.’ Selain itu kata Tarakan juga dimaknai sebagai ‘tempat pertemuan arus muara sungai Kayan, Sesayap, dan Malinau.’
Sesuai dengan namanya kota Tarakan ini berfungsi sebagai tempat persinggahan atau tempat istirahat dan melakukan pertemuan masyarakat dari Kerajaan Tidung pada masa sebelum kedatangan Kolonial Belanda pada tahun 1896. Sampai sekarang Kodya Tarakan masih berfungsi pokok sebagai kota ‘pertemuan’ dan ‘perdagangan’ antara masyarakat yang tinggal di pulau utama Kalimantan dan masyarakat yang tinggal di luar pulau Kalimantan seperti jawa, dan Sulawesi. Tarakan menjadi pintu gerbang utama bagi siapa saja yang akan mengunjungi wilayah Kalimantan Timur bagian Utara.
2.      Letak Geografis dan Kependudukan
Kota Madya Tarakan secara geografis terletak pada 30 14’ 23” - 30 26’ 37” Lintang Utara dan 1170 30’ 50” - 1170 40’ 12” Bujur Timur dan terdiri dari dua pulau, yaitu pulau Tarakan dan pulau Sadau dengan luas wilayah mencapai 657,33 km2 dengan rincian wilayah daratan seluas 250,80 km2 dan wilayah lautan seluas 406,53 km2.
Berdasarkan data yang ada pada Badan Kependudukan, Catatan Sipil dan Keluarga Berencana Kodya Tarakan per September 2008, jumlah penduduk Kotdya Tarakan mencapai 178.111 jiwa yang terdiri dari laki-laki sejumlah 93.154 jiwa dan perempuan sejumlah 84.957 jiwa. Kodya Tarakan yang secara historis berpenduduk asli suku Tidung dalam perkembangannya dihuni pula oleh suku-suku lain seperti Banjar, Jawa, Bugis, Tionghoa, Flores, dan lain-lain.
B.     Perkembangan Bahasa Melayu
Sebelum kedatangan Belanda pada tahun 1896, Tarakan merupakan wilayah Kerajaan Tidung yang memerintah Suku Tidung di utara Kalimantan Timur yang berkedudukan di Pulau Tarakan dan berakhir di Salimbatu. Suku Tidung memiliki bahasa sendiri yang disebut bahasa Tidung. Suku Tidung yang tinggal di pesisir pantai Tarakan adalah pemeluk agama Islam sehingga suku Tidung lebih dikenal sebagai suku Melayu seperti halnya suku Banjar, Kutai, dan suku Pasir. Hubungan dagang yang menghasilkan hubungan perkawinan dengan para saudagar Islam dan kerajaan-kerajaan Islam di wilayah sekitar Kalimantan menjadikan suku Tidung di Tarakan menguasai bahasa Melayu sebagai bahasa komunikasi. Hal ini menyebabkan sebagian besar suku Tidung di Tarakan menguasai dua bahasa, yaitu bahasa Tidung dan Melayu. Dalam perkembangannya, Tarakan sebagai kota transit karena fungsinya sebagai pintu gerbang utama untuk memasuki wilayah Kalimantan Timur menjadi kota yang berpenduduk heterogen. Banyak orang dari berbagai suku seperti Bugis, Banjar, Jawa, Toraja, Flores dan lain-lain bermigrasi ke Tarakan. Heterogenitas penduduk ini menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa yang lebih sering digunakan sebagai bahasa komunikasi harian. Sekarang ini bahasa Melayu dialek Tarakan atau juga disebut bahasa Indonesia dialek Tarakan menjadi bahasa komunikasi yang dipakai oleh semua suku yang ada di Tarakan. 
C.     Partikel ‘na’
Dalam tata bahasa, partikel merupakan jenis kelas kata fungsi mengingat partikel hanya memiliki makna yang jelas ketika berada dalam kalimat. Partikel memiliki makna yang kurang jelas ketika berperan sebagai kata terpisah namun memiliki fungsi yang sangat penting dalam sebuah kalimat ataupun frasa. Seperti telah dinyatakan di bagian sebelumnya, jenis kata ini berbeda dengan jenis kata leksikal yang memiliki makna ketika berperan sebagai kata terpisah seperti kata makan, rumah, kecil, dan sejenisnya. Kridalaksana (2007: 19 – 21) menyatakan bahwa partikel memiliki makna yang jelas dalam kalimat dan lebih berfungsi untuk mengungkapkan sikap dan perasaan penutur. Ciri formal lain adalah bahwa partikel tidak mengalami proses infleksi dan perubahan bentuk lain. Meski kebanyakan partikel hanya memiliki makna gramatikal seperti lah, dong, deh, kok, kan, nah, lho dan sejenisnya, beberapa partikel juga memiliki makna leksikal disamping makna gramatikal, misalnya karena, pada, agak, dan sejenisnya. Contoh partikel dalam bahasa Indonesia ragam komunikasi misalnya partikel ‘lah’ dalam kalimat (1) berikut ini:
(13)     ‘Dicoba dulu lah.’ kata seorang penjaga toko sepatu kepada teman saya. (LAH/TT1/1)
Kata lah pada kalimat (1) mengungkapan mood dari penutur yang lebih bermakna saran dan desakan untuk melakukan tindakan seperti yang tersirat pada kata kerja dalam kalimat tersebut. Disamping konteks gramatikal kalimat tersebut, penentu makna partikel lebih berupa konteks pragmatik seperti tujuan dan maksud komunikasi penutur.
1.      Partikel ‘na’ dalam pola kalimat bahasa Melayu dialek Tarakan.
Bahasa Melayu dialek Tarakan memiliki dua partikel yang tipikal Tarakan, yaitu ‘na’ dan ‘ba’. Wilayah sebaran penggunaan partikel na dan ba sedikit berbeda. Partikel na  digunakan di hampir weluruh wilayah Kalimantan sedang partikel ba hanya digunakan di wilayah Kalimantan Timur bagian utara saja. Data-data mengenai partikel ‘na’ dari bahasa Melayu dialek Tarakan dapat dilihat pada contoh berikut.
(14) Ibu                   :   ‘Perutmu makin buncit, Lin.’ (Seorang Ibu bernama Viny mengomentari perut anaknya yang berumur + 10 tahun yang bernama Angelin)
Lin                    : ‘Mama ini na.’ (Angelin merespon komentar ibunya dengan sedikit sewot dan manja) (NA/TT2/2)
(15) Pegawai Salon : ‘Silahkan. Siapa dulu ini? (Seorang pegawai salon memersilakan seorang pelanggan dari ketiga perempuan yang datang bersamaan untuk dipotong rambutnya)
Perempuan 1     : ‘Yang paling tua dulu na.’ (Salah seorang perempuan berkata pada kedua temannya sambil tersenyum) (NA/TT3/3)
(16) Pak Lucas        : ‘Pak Felix tadi minta izin. (Beliau) tidak bisa datang karena sakit. (Pak Lucas menyampaikan pesan kepada Pak Francis, pimpinan rapat, pada acara pertemuan lingkungan Karangrejo di Tarakan Barat)
Pak Fransis       : ‘Na, kan?’ (Pak Lucas dan peserta rapat yang lain tertawa) (NA/TT4/4)
(17) Pak Silves        : ‘Erni udah PNS sekarang.’ (Pak Silves bilang ke Nita temannya)
Nita                   : ‘Erni? Erni kita itu kah?’ (Nita merespon pak Silves sambil mencoba mengingat-ingat) (NA/TT5/5)
Pak Silves         : ‘Erni itu na, anak Juwata itu na.’ (Pak Silves mencoba menjelaskan)
Nita                   : ‘Iya kah? Hebat. Bakal makan-makan kita.’ (NA/TT6/6)
(18) Ibu Laras         : ‘Ayo na, Mas. Makan dulu’ (Ajak Ibu Laras pada suaminya)
Suami                : ‘Masak enak rupanya ya.’ (Jawab suaminya sambil tersenyum) (NA/TT6/6)
(19) Seorang ibu     :  ’Geser dikit na’ (Seorang ibu berkata pada seorang pemuda teman seperjalanan di ruang tunggu bandara Juwata Tarakan)
Seorang pemuda  :  ‘Ga muat kah?’ (Sambil tertawa) (NA/TT7/7)
Dari data (14 s.d. 19) dan dari data tuturan harian dapatlah dinyatakan bahwa partikel ‘na’ dalam pola kalimat bahasa Melayu dialek Tarakan memiliki tingkat kemunculan yang lebih tinggi setelah kata tunjuk ‘ini’ dan ‘itu’ untuk mengakhiri sebuah klausa. Artinya bahwa partikel ‘na’ selalu berterima jika muncul mengikuti kata tunjuk ‘ini’ dan ‘itu’. Pola penggunaan partikel ‘na’ pertama yang dapat dirumuskan adalah:
a.       Partikel ‘na’ setelah kata tunjuk ‘ini’ dan ‘itu’.
… … … ini na.
… … … itu na.

Keterangan:  1) Partikel ‘na’ lebih sering muncul diakhir klausa untuk mengakhiri klausa,
                     2) Partiekel ‘na’ selalu berterima bila muncul setelah kata tunjuk ‘ini’ dan ‘itu’,
                     3) Semua jenis kata dapat mendahului kata tunjuk ‘ini’ dan ‘itu’.
b.      Partikel ‘na’ setelah kata keterangan bermakna ajakan, permintaan, dan saran.
                                Ayo na.
                                … … … dulu na.
                                … … … lagi na.
                                … … … sedikit na.
                                … … … sebentar na.

Keterangan:  1)  Partikel ‘na’ selalu berterima setelah kata ajakan ayo,
                     2) Partikel ‘na’ selalu berterima setelah kata keterangan bermakna ajakan, permintaan, dan saran,
                     3) Jenis kata yang selalu berterima sebelum kata keterangan ajakan adalah kata kerja, misalnya:
                          ‘ambil dulu na, ‘ambil lagi na, ‘ambil sedikit na, ‘ambil sebentar na,
                          ‘makan dulu na, ‘makan lagi na, ‘makan sedikit na, ‘makan sebentar na’,
                          ‘berusaha dulu na’, ‘berusaha lagi na’, berusaha sedikit na’, ‘berusaha sebentar na’,
                          sedang jenis kata benda dan kata sifat memerlukan kesesuaian semantis untuk dapat muncul sebelum kata keterangan ajakan di atas. Kata benda hanya muncul dalam bentuk pronomina persona atau kata ganti orang dan itupun hanya untuk kata keterangan ajakan dulu dan lagi, misalnya:
                          ‘Bapak dulu na, ‘Bapak lagi na’,
                          ‘Kamu dulu na’, ‘Kamu lagi na’.
                          Kata sifat hanya muncul sebelum kata keterangan sedikit dan bermakna “menjadi agak” atau “menjadi lebih”, misalnya:
                          ‘tenang sedikit na’,
                          ‘kecil sedikit na’.
                          Kata lain yang bisa muncul adalah kata keterangan yang menerangkan cara mengerjakan sesuatu, misalnya:
                          ‘cepat sedikit na’,
                          ‘sabar sedikit na’.
c. Partikel ‘na’ diawal klausa
                                Na, kan?

Keterangan:  1) Partikel ‘na’ muncul diawal klausa hanya pada konstruksi penegasan saja, yaitu konstruksi klausa dalam sebuah wacana komunikasi sebagai tanggapan atas sebuah pernyataan,
                       2) Makna konstruksi ini juga bermakna ungkapan penegasan dan sekaligus ajakan untuk menyetujui atau mengakui sebuah pendapat atau sebuah pernyataan sebelumnya.
2.      Makna partikel ‘na’ dalam tata bahasa Melayu dialek Tarakan
Sebagaimana partikel pada umumnya, partikel ‘na’ bahasa Melayu dialek Tarakan lebih bermakna sebagai pembentuk keselarasan bunyi yang secara komunikatif memberi efek kedekatan atau intimacy antar penuturnya. Hal ini didasarkan pada kajian data (14 – 19) di atas. Dari data di atas dapat dilihat bahwa partikel ‘na’ hanya muncul dalam komunikasi antar penutur yang memiliki kedekatan relasi dan dalam komunikasi tidak formal. Makna partikel ‘na’ dalam tuturan dengan demikian sangatlah bergantung pada konteks baik semantik, yaitu berupa kata-kata sebelum dan sesudah partikel na maupun pragmatik konteks, yaitu berupa konteks diluar bahasa misalnya relasi antar penutur, dan maksud tuturan.
Makna partikel na pada tuturan Lin seperti terlihat pada data (14): ‘Mama ini na.’ sebagai tanggapan tuturan ibunya: ‘Perutmu makin buncit, Lin.’ sangat bergantung pada konteks non-linguistik tuturan. Pemaknaan partikel na pada data (14) gagal bila hanya bergantung pada konteks semantis berupa kata-kata sebelum partikel na dalam tuturan tersebut. Pemaknaan partikel na berhasil bila konteks pragmatik berupa maksud tuturan baik dari Ibu maupun dari Lin, dan relasi antar petuturnya juga dipertimbangkan. Dengan memerhatikan konteks semantik maupun pragmatik dapatlah dijelaskan bahwa makna partikel ‘na’ pada data (14): ‘Mama ini na.’ merupakan permintaan Lin kepada ibunya untuk tidak mengolok-olok kegendutannya, ungkapan kemaharan meskipun tidak sngguh-sungguh marah karena Lin menyadari bahwa Ibunya tidak benar-benar mencelanya, dan merupakan ungkapan kedekatan Lin terhadap ibunya karena baik Lin maupun Ibunya tidak akan melakukan peristiwa tuturan semacam itu pada orang lain yang tidak memiliki kedekatan yang sama. 
Partikel na pada data (15) memiliki makna permintaan. Dari kajian konteks baik semantik maupun pragmatik, tuturan Perempuan 1: ‘Yang paling tua dulu na.’ ditujukan pada kedua temannya yang hendak mendapatkan pelayanan salon menunjukkan bahwa penutur bermaksud meminta temannya yang paling tua untuk mendapatkan giliran lebih dahulu sekaligus bermaksud menunjukkan kedekatan relasi antar ketiga teman tersebut sehingga dengan memasukkan unsur canda berupa kriteria umur sebagai penentu giliran layanan formalitas tuturan menjadi berkurang. Partikel na pada tuturan ini bermakna permintaan, tepatnya permintaan penutur kepada temannya untuk mendapatkan giliran layanan salon sebagai jawaban atas pertanyaan Pegawai Salon: ‘Silakan. Siapa dulu ini?’. 
Partikel na pada data (16) memiliki makna penegasan. Hal ini dapat dikaji dari konteks semantik maupun pragmatiknya. Tuturan Pak Fransis: ‘Na, kan?’ sebagai respon dari pernyataan Pak Lucas dan respon hadirin (tertawa) dimaknai sebagai penegasan atas dugaan pak Fransis bahwa Pak Felix tidak akan datang ke pertemuan tersebut dengan berbagai alasan (meskipun tidak diucapkan).
Partikel na pada (17) memiliki makna permintaan. Tuturan Pak Silves: ‘Erni itu na, anak Juwata itu na.’ sebagai jawaban pertanyaan Nita: ‘Erni? Erni kita itu kah?’ lebih merupakan permintaan pak Silves kepada Nita untuk mengingat-ingat (lagi) objek pembicaraan mereka.
Partikel na pada (18) memiliki makna ajakan. Partikel na yang dimunculkan mengikuti kata ‘Ayo’ menjadi ajakan yang biasa pada tuturan sehari-hari di dalam masyarakat Tarakan. Makna ajakan bukan hanya dari makna leksikal kata ayo karena tuturan ayo dalam masyarakat Tarakan selalu muncul diikuti partikel na.
Partikel na pada data (19) memiliki makna permintaan. Tuturan Seorang Ibu: ‘Geser dikit na.’  pada seorang pemuda teman seperjalanannya lebih merupakan sebuah permintaan seorang teman untuk bergeser sedikit guna memberi ruang untuk duduk.
Data (14 - 19) menunjukkan bahwa secara umum selain menunjukkan kedekatan relasi antar petutur dan menjaga keselarasan tuturan, partikel ‘na’ memiliki makna ajakan (6), permintaan (14, 15, 17, dan 19), dan penegasan (16).
3.      Konteks Pragmatik Penggunaan partikel ‘na’.
Konteks pragmatik sebagaimana telah dirumuskan dimuka adalah setiap unsur tuturan diluar bahasa yang menentukan maksud tuturan seperti misalnya penutur, nosi, intonasi, relasi antar petutur. Berikut ini disajikan data konteks pragmatik yang berkaitan dengan penggunaan partikel na pada tuturan masyarakat Tarakan.


Tabel 1. Konteks Pragmatik Partikel na dan ba berupa Usia, Kelas Sosial dan Wilayah.

Usia

Kelas Sosial

Wilayah

Anak-anak

Dewasa
Orang tua

Noble
Common
Rural
Urban

Partikel na
P
P
P
P
P
P
P

Partikel ba
P
P
P
P
P
P
P


Data tabel 1 menunjukkan bahwa partikel na muncul dalam tuturan sehari-hari baik oleh anak-anak, dewasa, orangtua, baik oleh kelas bangsawan maupun orang biasa, baik di desa maupun di kota. Dapat pula disampaikan bahwa konteks usia, kela sosial dan wilayah tidak membatasi penggunaan partikel na bahasa Melayu Dialek tarakan Kalimatan Timur.
Gambar 1. Peta Wilayah Penggunaan partikel ba dan na dalam tututran bahasa Melayu Dialek Tarakan Kalimantan Timur.










Tabel 2. Konteks Pragmatik Partikel na dan ba berupa Situasi.

Situasi
Resmi
Tidak Resmi
Sakral
Puitik
Spontan
Partikel na
X
P
X
P
P
Partikel ba
X
P
X
P
P

Data Tabel 2 menunjukkan bahwa partikel na muncul dalam tuturan sehari-hari pada situasi tidak resmi, puitik, dan spontan, sedangkan pada situasi resmi dan sakral partikel na tidak muncul. Dapat pula disampaikan bahwa situasi sakral seperti doa memiliki tingkat formalitas yang tinggi sehingga penutur cenderung tidak menggunakan partikel na mengingat situasinya selalu resmi.
Tabel 3. Konteks Pragmatik Partikel na dan ba berupa Nosi.

Nosi
Pertokoan
Pasar
Perkantoran
Sekolahan
Rumah
Partikel na
P
P
P
P
P
Partikel ba
P
P
P
P
P

Data Tabel 3 menunjukkan bahwa partikel na muncul pada konteks nosi apapun seperti pada nosi pertokoan, pasar, perkantoran, sekolahan, dan rumah. Perlu disampaikan bahwa untuk nosi perkantoran dan sekolahan, tuturan yang dirujuk bukanlah berupa sambutan atau pengajaran guru melainkan tuturan waktu senggang antar petutur di lingkungan perkantoran dan sekolahan.
Dari kajian data konteks pragmatik Tabel 1 – 3 di atas dapatlah disampaikan bahwa konstrain penggunaan partikel na pada tuturan bahasa Melayu Dialek Tarakan Kalimantan Timur adalah formalitas tuturan. Partikel na digunakan pada konteks pragmatik apa saja kecuali pada konteks situasi resmi atau formal.
D.    Partikel ‘ba’
Seperti telah dikemukakan sebelumnya, partikel ba dalam tuturan bahasa Melayu Dialek Tarakan Kalimantan Timur merupakan partikel yang tipikal Tarakan. Seperti halnya partikel na, partikel ba adalah partikel yang senantiasa muncul dalam tuturan sehari-hari masyarakat Tarakan Kalimtan Timur. Sebagaimana partikel na dan juga partikel lain, partikel ba mimiliki ciri-ciri partikel pada umumnya yaitu bahwa partikel ini merupakan jenis kelas kata fungsi mengingat partikel ba hanya memiliki makna yang jelas ketika berada dalam kalimat. Seperti telah dinyatakan di bagian sebelumnya, partikel ba memiliki makna yang jelas dalam kalimat dan lebih berfungsi untuk mengungkapkan sikap dan perasaan penutur. Ciri formal lain adalah bahwa partikel ba tidak mengalami proses infleksi dan perubahan bentuk lain. Disamping konteks gramatikal kalimat, penentu makna partikel ba lebih berupa konteks pragmatik seperti tujuan dan maksud komunikasi penutur.
1.      Partikel ‘ba’ dalam pola kalimat bahasa Melayu dialek Tarakan.
Berdasarkan sebaran geografis kemunculannya, partikel ba dapat dikatakan partikel tipikal bahasa Melayu Dialek Tarakan mengingat partikel ba hanya muncul di wilayah Kota Madya Tarakan dan sekitarnya seperti wilayah sepanjang Sungai Sesayap di utara sekitar Pulau Sapi, Malinau, dan sepanjang Sungai Sembakung sekitar Mansalong, sepanjang Sungai Kayan di tengah sekitar Tanjung Selor, Tidung Pale, dan sepanjang Sungai Segah di selatan sekitar wilayah Tanjung Redep, serta Atap dan Pasir Belengkong. Sebaran penggunaan partikel ba di wilayah utara paling jauh di Nunukan dan di wilayah selatan paling jauh di Tanjung Redep.
Gambar 2. Peta Kalimantan Timur: Wilayah sebaran penggunaan Partikel ba.
www.indonesia-tourism.com










Data-data mengenai partikel ‘ba’ dari bahasa Melayu dialek Tarakan dapat dilihat pada contoh berikut.
(20) Agnes              : ‘Nanti malam mau pergi kah?’  
P. Stef             : ‘Kemana?’
                    Agnes              : ‘Ke tempat orang menikah.’
                    P. Stef             : ‘Enggak.’
                    Agnes              : ‘Kenapa, Bah?’
                    P. Stef             :’Yang diundang kan Pastor Bono bukan aku.’ (BA/TT1/1)
(21) Joy                   : ‘Aku minum air rebusan usus landak. Sembuh, malariaku.’
        Ingai                : ‘Enak kah?’
        Joy                   : ‘Oi, pahit, Bah.’ (BA/TT2/2)

(22) Awang            : ‘Jadi pergi kah?’
        Jaung               : ‘Iya lah. Masih nanti kan?’
        Awang            : ‘Sekarang, Bah
        Jaung               : ‘Sekarang ya.’ (BA/TT3/3)
(23) Rio                  : ‘Eh, cepet betul? Naik Taxi kah?’
        Edo                 : ‘Taxi apa. Lari, Bah aku. (BA/TT4/4)
(24) Irang                : ‘Vario bagus kah?’
        Yajuk              : ‘Laju. Laju, Bah.
        Irang                : ‘Cuma boros ya?’
        Yajuk              : ‘Ndak boros, Bah. Satu empatpuluh lah.’ (BA/TT5/5)
(25) Jaung               : ‘Baru kah?’
        Kuling             : ‘He he. Tiga juta dua ratus di Surabaya.’
        Jaung               : ‘Mahalnya Bah.’ (BA/TT6/6)
(26) Valent             : ‘Orang itu cantik tapi cerewet betul ya?’
        Yumbo            : ‘Itu mamakku, Bah.’ (BA/TT7/7)
Data (20 – 25) menunjukkan bahwa partikel ba tidak memiliki konstrain berupa jenis kata. Partikel ba bisa muncul dan berterima setelah jenis kata apapun. Partikel ba berterima manakala muncul setelah pronomina kata tanya (20), kata sifat (21, 24, 25 ), kata keterangan (22), verba (23), dan kata benda (27). Berikut ini tabel konteks sintagmatik kemunculan partikel ba.
Tabel 4. Konteks sintagmatik berupa jenis kata untuk penggunaan partikel ba.

Jenis Kata
Sifat
Benda
Verba
Adverbia
Pronomina
Partikel ba
P
P
P
P
P

Partikel ba dalam tuturan bahasa Melayu dialek Tarakan juga berterima manakala digunakan dalam jenis klausa apapun. Partikel ba bisa muncul dalam klausa afirmatif (21 – 26), pertanyaan (20), dan negatif (24).
Tabel 5. Konteks sintagmatik berupa jenis Klausa untuk penggunaan partikel ba.

Jenis Klausa
Afirmatif
Tanya
Negatif
Partikel ba
P
P
P


2.      Makna partikel ‘ba’ dalam tata bahasa Melayu dialek Tarakan
Sebagaimana partikel na, partikel ‘ba’ bahasa Melayu dialek Tarakan lebih bermakna sebagai pembentuk keselarasan bunyi yang secara komunikatif memberi efek kedekatan atau intimacy antar penuturnya. Hal ini didasarkan pada kajian data (20 – 27) di atas. Dari data di atas dapat dilihat bahwa partikel ‘ba’ hanya muncul dalam komunikasi tidak formal. Makna partikel ‘ba’ dalam tuturan (20 – 27) sebagai ganti sebutan orang kedua. Setelah dikaji, partikel ba dalam tuturan di atas tidak memiliki makna khusus kecuali sebagai kata ganti orang atau pronomina persona yang merujuk pada mitra tutur. Secara pragmatis partikel ba merubah kedekatan relasi antar petutur dari tidak akrab menjadi akrab. Penutur bahasa Melayu Dialek Tarakan menggunakan partikel ba dalam tuturan untuk menjadikan relasi antar petutur lebih dekat dan akrab.
Makna partikel ba pada tuturan (20 – 27) secara etimologis lebih dekat dengan kata babah dalam bahasa Melayu Dialek Betawi yang merupakan kata sebutan untuk menyebut seorang laki-laki Cina dewasa (Tadmor, 1997). Bila partikel ba dimaknai sebagai sebutan untuk merujuk seorang laki-laki Cina dewasa maka partikel ba merupakan kata serapan yang telah mengalami pergeseran makna, yaitu dari sebutan untuk seorang laki-laki Cina dewasa menjadi sebutan untuk semua orang baik laki-laki, maupun perempuan, kanak-kanak maupun dewasa yang menjadi mitra tutur. Namun demikian, hal ini masih bersifat dugaan dan memerlukan kajian etimologis lebih lanjut.

3.      Konteks Pragmatik Penggunaan Partikel ‘ba’ dalam bahasa Melayu Dialek Tarakan.
Konteks pragmatik partikel ba sebagaimana telah dirumuskan dalam Tabel 1 - 3 mendiskripsikan unsur tuturan diluar bahasa yang menentukan maksud tuturan berkaitan dengan penutur, nosi, situasi, dan setting. Berikut ini disajikan data konteks pragmatik yang berkaitan dengan penggunaan partikel ba pada tuturan masyarakat Tarakan berupa tindak tutur ilokusi.
Tabel 6. Konteks Pragmatik Partikel na dan ba berupa Tindak Tutur Ilokusi.

Tindak Tutur Ilokusi
Asertif
Direktif
Komisif
Ekspresif
Deklaratif
Partikel na
P
P
P
P
P
Partikel ba
P
P
P
P
P

Partikel ba berterima manakala digunakan dalam tindak tutur ilokusi apapun, asertif (27), direktif (20), komisif (24), ekspresif (21, 24) dan deklaratif (22).
Dari kajian konteks pragmatik penggunaan partikel ba pada Tabel 1 – 3 dan Tabel 4 di atas dapatlah dinyatakan bahwa konstrain pragmatik penggunaan partikel ba sebagaimana partikel na dalam bahasa Melayu Dialek Tarakan Kalimantan Timur adalah pada formalitas tuturan dan kedekatan relasi antar petutur. Artinya, partikel ba digunakan dalam tuturan bahasa Melayu dialek Tarakan dalam konteks pragmatik apapun kecuali pada tuturan dalam konteks formal seperti ceramah, pidato, pengajaran di depan kelas dan tuturan-tuturan formal lain.






BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

A.          Kesimpulan
Dari uraian pada bab-bab sebelumnya dapat diketahui bahwa penutur bahasa Melayu dialek Tarakan Kalimantan Timur memiliki pertikel yang tipikal yaitu partikel ba dan na. Meski partikel na memiliki sebaran wilayah penggunaan yang lebih luas di hampir seluruh wilayah Kalaimantan, penggunaan partikel na di Tarakan Kalimantan Timur memiliki frekuensi yang tinggi. Sedikit berbeda dengan partikel na, partikel ba dalam bahasa Melayu Dialek Tarakan lebih memiliki wilayah sebaran penggunaan yang spesifik yaitu di seluruh wilayah Kota Madya Tarakan dan sekitarnya meliputi wilayah Nunukan di utara, sepanjang sungai Kayan di Barat-Tengah Kalimantan dan Tanjung Redep di Selatan. Di luar wilayah tersebut meski berdekatan, misalnya di wilayah Balikpapan dan Samarinda, partikel ba tidak lagi digunakan. Hal ini menandakan bahwa partikel ba tipikal partikel bahasa Melayu Dialek Tarakan. Beberapa simpulan lain yang dapat dirumuskan adalah sebagai berikut:
1.      Konteks pragmatik penggunaan partikel ba dan na memiliki konstrain formalitas dan kedekatan atau intimacy. Partikel ba dan na hanya muncul manakala tuturan memiliki tingkat formalitas yang rendah atau dengan kata lain partikel ba dan na hanya digunakan dalam tuturan tidak resmi atau tidak formal, dan penggunaan pertikel ba dan na hanya dilakukan oleh petutur yang memiliki kedekatan relasi.
2.      Pola penggunaan partikel ba dan na secara umum menunjukkan bahwa partikel ba dan na sebagaimana partikel pada umumnya menjadi penyelaras bunyi yang karenanya lebih banyak muncul di akhir klausa.
3.      Partikel ba memiliki konstrain kemunculan dalam pola kalimat bahasa Melayu Dialek tarakan yang berbeda dengan partikel na. Partikel ba memiliki peluang penggunaan dalam pola kalimat atau konteks sintagmatik yang lebih luas dibandingkan dengan partikel na.
4.      Partikel na memiliki konstrain kemunculan yang lebih selektif yaitu bahwa partikel na berterima manakala muncul setelah kata tunjuk ini dan itu, setelah kata keterangan bermakna permintaan, permohonan, ajakan, dan penegasan. Partikel na hanya muncul pada awal klausa untuk klausa penegasan dalam bentuk pola baku: Na, kan.
5.      Penutur bahasa Melayu Dialek Tarakan Kalimantan Timur merasa bahwa penggunaan partikel ba dan na menandakan kedekatan relasi antar petutur. Dengan mengngunakan partikel ba dan na, penutur bahasa Melayu Dialek Tarakan Kalimantan Timur merasakan keselarasan atau kenyamanan berbahasa karena ketepatan penggunaan partikel ba dan na membuat mereka merasa memiliki jatidiri warga wilayah Tarakan. Meski mereka tidak mampu menjelaskan kapan dan dalam konteks seperti apa penggunaan partikel ba dan na dalam bahasa Melayu Dialek Tarakan, mereka bisa merasakan keselarasan penggunaan partikel ba dan na, dan tahu persis kapan dan bagaimana harus menggunakan partikel ba dan na.
B.     Saran
Setelah melakukan kajian tentang konteks pragmatik penggunaan partikel ba dan na di bab-bab terdahulu perlu disampaikan beberapa saran yang dapat dijadikan pelajaran baik untuk penutur bahasa Melayu Dialek Tarakan sebagai pengguna partikel ba dan na dalam tuturan sehari-hari maupun untuk peneliti dan pemerhati kajian linguistik.
1.      Partikel ba dan na dalam tuturan bahasa Melayu Dialek Tarakan Kalimantan Timur merupakan kekayaan bahasa yang tipikal. Untuk itu hendaknya masayarakat penutur bahasa Melayu Dialek Tarakan sebagai pengguna partikel ba dan na merasa bangga karena memiliki ciri kebahasaan sebagai jatidiri warga Tarakan sehingga kebanggaan menggunakan partikel ba dan na akan melestarikan kekayaan bahasa Melayu Dialek Tarakan Kalimantan Timur.
2.      Meski nampak sederhana, penggunaan partikel ba dan na memberi dampak yang sangat positif terhadap penutur bahasa Melayu Dialek Tarakan Kalimantan Timur. Hal ini mengingat penggunaan partikel ba dan na meningkatkan kedekatan relasi antar petuturnya, sehingga penggunaan partikel ba dan na dalam tuturan bahasa Melayu Dialek Tarakan perlu mendapatkan perhatian berkaitan dengan keselarasan dan ketepatan penggunaan partikel ba dan na. Diharapkan, kajian tentang partikel ba dan na ini membuka wawasan yang lebih luas bagi para pemerhati dan peneliti bahasa sehingga lebih memberi wawasan yang lebih luas berkaitan dengan unsur-unsur bahasa yang dapat dijadikan entry point penelitian dan kajian bahasa.
3.      Dari penelitian yang dilakukan di lapangan diperoleh data tentang kekayaan bahasa yang melimpah di Wilayah Tarakan Kalimantan Timur. Hendaknya Pemerintan Pusat maupun Daerah perlu memberikan perhatian yang lebih besar guna mempercepat dokumentasi kekayaan bahasa yang ada. Hal ini perlu dilakukan mengingat kekayaan bahasa melekat pada penuturnya sehingga apabila tidak ada lagi penutur bahasa yang menggunakan bahasa yang dimiliki maka dengan sendirinya bahasa yang pernah menjadi kekayaan suatu daerah akan punah kecuali apabila sebelumnya telah dilakukan dokumentasi kekayaan bahasa yang dimiliki.
DAFTAR PUSTAKA ACUAN

Bell, Roger, T., 1976, Sociolinguistics: Goals, Approaches and Problems, B. T. Batsford, Ltd., London.
Carnap, R, (1942), Introduction to Semantics, Cambridge, Mass, : MIT Press.
Chomsky, N., (1957, Syntactic Structures, The Hague: Mounton.
Durdje Durasid, dkk. (1990), Struktur Bahasa Kahayan, Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Firth, J. R., 1957, Men and Culture: An Evaluation of the Work of Bronislaw Malinowsky, London, England: Routledge and Kega Paul.
Gazdar, G. 1979, Pragmatics: Implicatures, Presupposition and Logical Form, New York, Academic Press.
Halliday, M. A. K., 1978, Language as Social Semiotic, London: Edward Arnold.
Hewings Ann, & Hewings, Martin, 2005, Discourse Analyses, Routledge 2 Park Square, Oxon, USA.
Katz, J. J., (1964), ‘Analyticality and contradiction in natural language’, in Fodor, J. A. and Katz, J. J. (eds), The Structure of Language: Readings in the Philosophy of Language, Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, pp 519-43.

Katz, J. J. and Fodor, J. A., (1963), ‘The Structure of Semantic Theory’, in Language, 39, 1970-210.

Katz, J. J. and Postal, P. M., (1964), An Integrated Theory of Languistic Descriptions, Cambridge, Mass.: MIT Press.

Lakoff, G. (1971), ‘On generative semantics’ in Steinberg, D. D., and Jakobovits, L. A. (eds) (1971), Semantics: An Interdisciplinary Reader in Philosophy, Linguistics and Psychology, Cambridge: Cambridge University Press.

Leech, Geoffrey, (1983), Principles of Pragmatics, Longman Group Ltd.

Levinson, Stephen, (1983), Pragmatics, Cambridge University Press.

Malinowski, B., 1923, The Problems of Meaning in Primitive Languages, Suplement to Odgen & Richards, 4th ed, 1966.

Morris, C. W., (1938), Foundation of the theory of signs, Chicago: Chicago University Press.

Morris, C. W., (1946), Sign, Language, and Behavior, Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

O’Grady, W., (1996), Contemporary Linguistics, Copp Clark Pitman Ltd., Longman.
Radjaban, Yohanes (2008), Pragmatic Contexts: Malinowski’s Contextual Meaning and Pragmatic Meaning, in ‘Phenomena’, Journal of Language and Literature, Department of English Letters Faculty of Letters Sanata Dharma University Yogyakarta Vol. 11 – No. 3.

Ross, J. R., (1970), ‘On declarative sentences’, in Jacobs, R. A. and Rosenbaum, P. S. (eds), Readings in English Transformational Grammar, Waltman, Mass: Blaisdell, pp 222-72.

Schiffrin, Deborah, 1994, Approaches to Discourse, Blackwell Publishers Inc., Malden, Massachusetts, USA.

Searle, J. R., (1969), Speech Acts:  An Essay in the Philosophy of Language, Cambridge: Cambridge University Press.
Sudaryanto, (1990), Aneka Konsep Kedatan Lingual, Duta Wacana Unversity Press.
Sudaryanto, (1992), Metode Linguistik, Duta Wacana Unversity Press.
Sutopo, H. B. (2006), Metodologi Penelitian Kualitatif, Universitas Sebelas Maret, ed. 2.
Tadmor, Uri (1997), Local Lexical Elementas in Jakarta Indonesia, Max planck Institute for Evolutionary Anthropology.
Verhaar, J. W. M. (1996), Asas-asas Linguistik Umum, Gadjah mada University Press, Yogyakarta
http://lingweb.eva.mpg.de/jakarta/isloj/ppt/Uri_Tadmor.ppt
               








˜